07. Memilih Tinggal

76 9 2
                                    

Aku kedinginan berdiri di atas istana yang retak
'Ku menutup mulutku getir berkata lirih
Adakah cinta yang sempurna di dunia?
Adakah hati yang tak bisa luka?

Apakah 'ku pantas bahagia?

Sejuta penyair sedunia ingin aku hampiri
Bertanya, "Apakah cinta sejati itu ada?"
Pantaskah 'ku marah pada takdir?
Berteriak lantang melawan nasib
Sedangkan 'ku hanyalah manusia

~

Walau ragaku mati membeku
Biarpun aku menangis
Mengalirkan deras
Air mata ketulusan
Air mata surga

Air Mata Surga — Dewi Sandra

•••

Suara derap langkah itu seperti menginjakku dengan perlahan. Ia berjalan dengan gagah sementara aku tertatih dalam satu tarikan kaki. Ia berjalan congkak melihat ke atas sementara kepalaku diminta tertunduk sampai aku jengah.

Nafasku tersengal demi dua atau tiga harapan dalam hidupku. Sementara ia, merobohkan semua dinding batasan demi egonya yang bisa ia raih dalam satu helaan nafas dengan mudah.

Penopangku retak nan rapuh. Sementara ia, berdiri gagah dengan pelindung di setiap sisinya sambil menjatuhkan orang lain.

Jika nanti ujungnya aku menemukan sebuah tempat menuju jalan keluar saat aku terjebak, aku tetap akan berfikir ulang beratus kali.

Sejatinya, bagian menyedihkannya bukan disitu, satu yang paling buruk karena aku memang tidak punya tempat lain untuk berlabuh.

Aku memilih tinggal dalam ketersesatan karena aku tidak punya tempat lain untuk itu.

•••

Kea menatap Kala dengan beribu pertanyaan yang sejak tadi tertanam. "Mau dibawa kemana lagi saya?"

"Singapore." Kala menjawab singkat. "We will arrive at the airport, sebentar lagi,"

Kea berusaha menahan tangan Kala yang sejak tadi terus saja mengusap pahanya. "Jangan disini, sudah berapa kali supir kamu liat kita begini," Kea berbisik sambil terus menahan jemari kekar itu yang mulai memasukinya.

Kala menaikkan satu alisnya. "Why? Dia hanya akan fokus menyetir, it's none of his business," Bukannya berhenti, lelaki itu terus saja melakukan apa yang ia ingini. Bahkan sekarang kedua tangan itu sudah dalam fungsinya masing-masing, satu dibawah sana, dan satunya lagi mulai mengusap pinggang Kea dan berangsur naik. "I told you, didn't I? Pelacur tidak perlu malu,"

"Kala," Kea meringis sambil berusaha menahan tangan nakal lelaki itu.

"Say and ask politely if you want something," ujar Kala dengan angkuh. Lelaki itu mengusap puncak Kea sesekali meremas miliknya.

"Kala ... nanti aja ya?" Kea menahan ringisannya.

"Ho! No ... Kea," Kala menarik puncak Kea. "I already said I don't like being called that. Persuade me,"

"Emh," Kea menghela nafas. "Mas, nanti aja ya jangan disini," Kea mengusap lengan Kala. "Nanti pasti aku turuti," sambungnya.

Kala tersenyum. "You can understand me well enough, i'm quite impressed," Lelaki itu melepaskan sentuhannya. "I like being seduced by your call of Mas dan aku-kamu itu,"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ℬehind the ℛeputationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang