Chapter 1: Pulang

30 4 0
                                    

Malam itu pengunjung cafe tidak terlalu banyak seperti hari-hari sebelumnya. Hanya ada empat orang pelanggan yang ada di sana. Dua diantaranya duduk berpasangan dan dua lainnya memiliki meja masing-masing.

Di salah satu meja bulat berwarna gading duduk seorang perempuan berambut ikal sepunggung. Jemarinya masih saling bertaut meski sudah beberapa menit terlewati. Sepasang mata kacang almond miliknya menatap cangkir kopi hitam tak bertuan yang sudah mendingin dan tidak lagi mengeluarkan uap. Begitu pula dengan latte miliknya, tak tersentuh barang sedikit saja.

"Liam..." ucap perempuan bernama Kaira itu lirih.

Hanya nama lelaki itu yang selalu muncul di benaknya selama beberapa tahun ini, tapi kali ini berbeda. Tidak ada lagi kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya atau debaran kebahagiaan di dalam dadanya.

Saat ini hanya ada rasa sakit.

==oo0oo==

Beberapa saat lalu,

Lelaki itu datang. Senyuman di wajah Kaira perlahan memudar ketika dia melihat senyum pahit lelaki beraroma citrus yang dicintainya.

"Liam?" raut wajah Kaira khawatir. Jujur saja perasaannya tidak enak setelah melihat mata yang biasanya melihatnya dengan teduh, kini melihatnya dengan sorot sedih. Ada sesuatu yang hilang dari sorot itu.

"Maaf, Kai. Kamu tahu ini nggak mendadak." Suara berat Liam menjawab Kaira.

Jantung Kaira berdetak. Entah bagaimana dia mengerti apa yang ingin Liam katakan. Sesuatu yang sudah Kaira sadari tapi dia enyahkan dan tidak ingin diakuinya.

"Liam, udah hampir tiga minggu kita nggak ketemu." Kaira memaksakan sebuah senyuman. Dalam hatinya dia memohon agar Liam tak melanjutkan kata-katanya lagi. Kaira meraih tangan Liam dengan perlahan.

Liam dapat melihat itu, senyum Kaira yang terlihat sedih. Dia dapat memahami ketakutan Kaira. Liam merasakan tangan Kaira menggenggamnya. Kaira berusaha menyalurkan keyakinannya, bahwa mereka akan baik-baik saja.

"Maaf, Kaira." Liam menarik tangannya.

Kaira menatap Liam tidak percaya, dia berusaha mencari-cari setitik harapan dari sepasang mata yang teduh itu, tapi dia tak menemukan apapun di sana. Liam sudah membuat keputusan. Kaira menundukan kepala, helai rambut ikal panjang hitam kecoklatan menutupi sebagian wajahnya.

"Liam...aku mohon..." pinta Kaira lemah.

Liam memalingkan wajahnya ke arah luar jendela. Melihat pejalan kaki yang tergesa dan deretan mobil yang melaju perlahan membelah jalanan malam. Ia tidak sanggup melihat Kaira.

Ada sesuatu yang luluh lantak juga di dalam dirinya. Bahkan ia harus berusaha keras untuk mengucapkan apa yang akan ia katakan. Kerongkongan dan lidahnya terasa pahit.

"Maaf, Kaira. Kita nggak bisa melanjutkan ini. Kita-" Napas Liam tercekat. Pelupuk lelaki itu terasa panas dan emosi yang siap tumpah berkerumun di kerongkongan. Mengatakan ini secara langsung, berbeda dengan skenario yang muncul di kepalanya.

Rasanya seperti ada berkilo-kilo beban yang membuat lidahnya kelu, juga rasa sakit yang muncul bersama dengan setiap kata yang ia ucapkan, puluhan kali lipat lebih berat dari apa yang ia bayangkan.

Liam memejamkan mata sejenak, berusaha mengatur perasaannya yang kontras.

"Kita nggak akan berjalan dengan baik, Kaira. Kamu tahu itu." Pandangannya kembali ke arah Kaira yang masih menunduk. Ia harus melakukan ini.

"Kamu menyerah? Setelah enam tahun? Kita udah terlalu jauh untuk kembali..." suara Kaira terdengar mencicit. Tenggorokannya terasa kelu.

"Enam tahun, Kaira. Aku nggak bisa selalu bimbang untuk milih kamu atau ibu. Ibu nggak punya siapa-siapa selain aku. Aku lelah setelah enam tahun. Mau itu tujuh tahun atau seterusnya, hasilnya akan sama. Aku nggak pengen kamu nunggu aku lebih lama, Kaira." Liam berhenti sejenak. Lalu seperti mengeluarkan gumpalan yang menyakitkan, ia melanjutkan.

"Itu, sungguh melelahkan."

Kata-kata Liam seperti menampar Kaira dengan kenyataan yang tidak ingin dia akui. Kaira bisa melihat ekspresi nelangsa dan air mata yang mati-matian Liam pertahankan. Lelaki itu juga terluka.

Jauh di dalam dirinya, Kaira tahu Liam selalu bimbang. Ibu Liam tidak pernah menyetujui hubungan mereka. Sejak awal, Kaira bukanlan seseorang yang diinginkan olehnya. Kaira juga merasakan, Liam semakin menjauh darinya beberapa bulan ini. Liam hampir tidak mengunjunginya lagi ketika akhir pekan, akan ada sejuta alasan yang menghalanginya.

Tapi Kaira sadar, jika Liam sudah mulai menentukan pilihannya. Kaira tak ingin mengakui itu, dia lari dari kenyataan yang perlahan tersaji di hadapannya, sampai detik ini. Kenyataan itu dilemparkan ke wajahnya.

Liam berhenti memperjuangkan hubungan mereka dan memilih ibunya.

"Jangan maafin aku, Kai. Aku nggak pantas buat itu." Liam menatap Kaira lamat-lamat, ia harus menghadapi kekecewaan dan kesedihan Kaira.

Sosok rapuh Kaira menatap pilu dan memohon seolah Liam adalah satu-satunya orang yang membuatnya tetap utuh. Keduanya tahu, bagaimana Kaira akan luluh lantak setelah ini.

"Jangan melewatkan jam makanmu, tidurlah yang cukup, jaga kesehatanmu, jangan menghalau orang-orang yang mengulurkan tangannya padamu, jangan-" Suara Liam terasa getir tapi terdengar lembut.

Liam terhenti.

"Aku benar-benar berharap kamu bisa ngelanjutin hidupmu dengan lebih baik."

"Liam-"

"Kita sudahi sampai di sini, Kaira. Jaga diri kamu baik-baik." Liam memotong Kaira yang belum menyelesaikan perkataannya. Tanpa menunggu jawaban Kaira, dia berdiri meninggalkan segalanya yang dia dan Kaira pernah miliki. Tidak lagi menengok ke belakang.

Dia tidak ingin goyah. Dia tahu Kaira akan terluka jika dia meninggalkannya, Kaira akan terluka jauh lebih dalam daripada sebelumnya. Tapi dia tidak bisa membohongi dirinya lebih lama lagi dan membuat Kaira terluka lebih dan lebih dalam lagi. Dia tidak ingin bersama Kaira hanya karena dia takut melukai perempuan itu dengan kenyataan yang ada. Bahwa mereka tidak bisa bersama lebih jauh dari ini.

Jantung liam berdenyut sakit. Perasaannya yang tersisa untuk Kaira menggoresnya. Liam mengabaikan rasa sakit itu, jika dibandingkan dengan Kaira yang hancur setelah dirinya pergi, sungguh ini bukanlah apa-apa.

'Kumohon, Kaira. Kumohon hiduplah dengan lebih baik.'

==oo0oo==

Dunia tempat Kaira berada mendadak sunyi, seolah hanya ada dirinya dan meja dengan dua cangkir minuman yang sudah mendingin.

'Ibu nggak punya siapa-siapa selain aku.'

Kaira mengingat kata-kata Liam beberapa saat lalu. "Dan aku nggak punya siapapun selain kamu..." ucapnya lirih.

"Permisi, kak. Sebentar lagi kami akan tutup."

Sebuah tepukan lembut membuyarkan lamunan Kaira. Dengan wajah gugup ia mendongak, dan mendapati salah satu pegawai wanita dengan celemek hitam tersenyum ke arahnya.

"Maaf...saya mau pergi." Kaira memasukkan ponselnya dan beranjak pergi. Dia berdiri dengan gugup lantas menyenggol meja dan menyebabkan sebagian latte dari gelasnya menumpahi meja.

"Oh! Astaga- Maaf, akan saya bersihkan." Jemari Kaira gemetar. Pikirannya tidak bisa dikendalikan, semua yang ada di sekelilingnya membuatnya gugup dan terkejut.

"Tidak apa-apa. Biar saya yang bersihkan." Perempuan itu melihat Kaira yang panik dan sedikit linglung, lalu tersenyum maklum. Dia melihat Kaira tidak bergerak sedari tadi sampai dia menepuknya. 'Pasti ini hari yang berat untuknya.'

Kaira menarik napas panjang dengan sedikit gugup. Jemarinya masih gemetar dia berdiam diri selama beberapa detik sebelum akhirnya berbalik pergi dan mengucapkan terima kasih kepada pelayan cafe itu.

Dengan langkah gontai Kaira berjalan menuju halte bus yang berjarak beberapa puluh meter dari cafe itu. Mendadak, dunia di sekelilingnya terasa berbeda. Kakinya terus melangkah tanpa Kaira tahu apa yang menggerakkannya. Dadanya berdenyut sakit sejak tadi, sangat sakit sampai tangan kanannya mencengkram pakaiannya.

Sampai beberapa waktu lalu, Liam masih menjadi rumahnya. Liam masih menjadi segalanya. Tapi sekarang semua itu sudah musnah.

Kaira tidak menangis, meski di dalam dirinya seperti ada jarum-jarum yang menusuknya tanpa henti, meski setiap tarikan napasnya terasa hampa, air matanya tidak keluar barang setitikpun.

"Liam...kemana aku harus pulang?" 

I've Got YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang