Chapter 2: Empati

6 4 0
                                    

Kaira mengerang. Ponsel yang terdengar berisik dan tidak sabar itu berhenti. Lalu kembali berbunyi setelah beberapa menit. Kali ini entah sudah yang keberapa kalinya. Mata Kaira mengerjab perlahan. Kedua matanya terasa begitu berat, begitu pula seluruh tubuhnya.

Dia masih mengenakan pakaian yang semalam ia pakai. Matahari menerobos celah gorden kamarnya, Kaira bertanya-tanya pukul berapa sekarang. Tapi kemudian dia tidak peduli. Dia terjaga hampir semalaman. Mendengarkan kesunyian malam, yang entah kenapa terasa memekakkan telinga.

Dengan malas dia melihat ponsel dan menemukan nama Lani di sana, teman sekubikelnya. Karena Kaira duduk di ujung dekat dengan pintu manajer, dia tidak memiliki teman sekubikel selain Lani. Dia bisa membayangkan wajah perempuan gempal itu yang sedang berkeringat dingin menunggu jawaban darinya. Dia pasti akan berkali-kali membenahi letak kacamatanya yang baik-baik saja.

Kaira nggak masuk?

Pak Glenn minta data aset. Sebentar lagi briefing pagi mau mulai.

Kaira mematikan ponsel kemudian melemparnya ke sembarang arah di tempat tidur. Dia sedang tidak ingin melakukan apapun saat ini. Sakit yang berasal dari hatinya seolah menyebar ke seluruh tubuh. Di dalam ruangan temaram itu, Kaira memeluk dirinya sendiri erat.

==oo0oo==

Sepasang mata bulat yang terbingkai kacamata bulat itu menatap cemas ke arah ponsel yang tidak kunjung berdering. Napasnya kembang kempis, terkadang dia akan menutup matanya dan kembali membukanya setelah beberapa detik untuk menemukan pesan yang dikirimnya tak kunjung mendapatkan balasan. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya sembari bergumam.

"Oh, astaga! Ini hari Senin dan Kaira ngilang tanpa kabar." Apakah ada yang lebih buruk daripada Hari Senin menjelang akhir bulan?

Lani membetulkan letak kacamatanya yang baik-baik saja, entah sudah yang keberapa kali. Angka di jam monitor membuat Lani gugup. Sebentar lagi ia harus bersiap untuk briefing pagi, ia yakin Glenn akan menagih jawaban pertanyaannya pagi tadi.

'Please, Kaira. Please. Balas chatku.'

Seperti alarm yang terpasang di setiap kepala pegawai di ruangan ini, tepat pada pukul sembilan mereka akan berdiri dan menuju ke dalam meeting room dan berdiri mengitari susunan meja dan kursi di tengah.

Glenn berdiri tegap dan tampak menjulang dibandingkan pegawai lainnya. Ia mengedarkan pandangan memastikan tidak ada rekan kerjanya yang belum siap. Ia tahu ada satu orang yang tak hadir saat itu. Kaira tidak ada di antara orang-orang di ruangan ini.

"Selamat pagi." Glenn selalu memulai briefing atau rapat dengan salam seperti itu.

"Selamat pagi." Jawab lainnya serempak. Setelahnya, Glenn sedikit berbasa basi untuk membuka pembicaraan.

"Lani, sudah ada kabar dari Kaira?" tanya Glenn. Suara berat lelaki itu membuat napas Lani berhenti sesaat. Selama sedetik pergerakannya terhenti, dalam hati dia mengutuk Kaira yang tidak kunjung memberinya kabar.

"Kayaknya...Kaira lagi nggak enak badan, Pak Glenn." Suara Lani terdengar ragu.

"Sakit?" Glenn mengernyit. "Dia nggak ngasih kabar apa-apa. Nggak izin juga, yakin dia sakit?" suara Glenn menajam.

Adalah kewajiban bagi pegawai yang tidak masuk untuk memberikan kabar pada Glenn dan Spv. Operasional yang dijabat oleh Kaira sendiri. Karena ini adalah kantor cabang yang fokus pada fungsi marketing, urusan operasional kepegawaian seperti absensi menjadi tanggung jawab operasional.

Setidaknya Kaira punya kewajiban untuk memberitahu Glenn.

Lani menelan ludah dan menghindari tatapan Glenn. Tatapan lelaki itu masam, kedua alisnya hampir bertaut. Tinggi Glenn yang hampir seratus sembilan puluh senti tampak semakin mengintimidasi. Pegawai lain berusaha memikirkan sesuatu untuk tidak semakin mengusik Glenn pagi itu.

I've Got YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang