11. Kala Cinta Bersemi

16.5K 177 6
                                    


Maaf baru update, Nara demam 🤒

Jangan lupa follow IG : Heragraden.

*****

Cinta, seperti penyakit yang mematikan. Cinta merambat tanpa ampun, menjangkiti jiwa yang tak berdaya. Jenderal Tiger, sang penguasa hutan rimba, yang dulunya tak kenal lelah berburu, kini hanya terpaku pada satu mangsa: Luna. Dulu, ia melihat Luna sebagai kelinci kecil yang tak lebih dari sekadar mainan di tangannya. Namun, seiring berjalannya waktu, kelinci itu menjelma menjadi peri yang menawan.

Luna, menjadi sinar rembulan, cahayanya menerangi setiap sudut hatinya yang dulu gelap dan sepi. Tiger tak dapat lagi melihat dunia dengan mata kepala yang tajam, namun dengan mata hati yang buta. Setiap langkahnya, setiap nafasnya, tertuju pada kelinci kecil itu, putri kecilnya.

"Kau adalah matahari yang menerangi hidupku, kau adalah bulan yang menuntunku di malam gelap." Bisiknya, begitu memuja.

Tiger mendengus kesal, melihat kelinci jelita itu tertawa manis menerima suapan pie dari Brownbear. Koki pribadi rumah mereka. "Pie apel buatan Paman memang yang terbaik," kata Luna, matanya berbinar-binar. "Rasanya manis, lembut, dan harum."

Tiger mencibir dalam hati. "Pie apaan, Luna?" gumamnya. "Itu hanya kue basi yang dibuat oleh beruang gemuk itu! " sang Jendral merasa panas di dadanya, seperti bara api yang membakar. Ia tak pernah merasakan rasa sakit yang begitu mengerikan.

"Kau tak suka pie apel, Daddy?" tanya Luna, matanya yang bulat mengerjap polos. "Padahal, Daddy selalu makan pie apel buatan Paman dulu."

Tiger terdiam. Ya, dulu ia selalu makan pie apel buatan Brownbear. Ia bahkan pernah memuji Brownbear karena keahliannya dalam membuat pie apel. Namun, kini, ia tak lagi merasakan kenikmatan itu. Ia hanya merasakan rasa sakit yang menusuk jantungnya.

" Dad ,sudah tak selera makan," jawab Tiger, suaranya datar. " Daddy ngantuk, mau tidur! "

Ia beranjak dari kursi dan berjalan menuju kamarnya. Ia tak ingin melihat Luna lagi. Ia tak ingin melihat kebahagiaan Luna bersama Brownbear.

" Daddy ,kenapa?" tanya Luna, suaranya terdengar sedikit khawatir. " Daddy sakit?"

Tiger tak menjawab. Ia terus berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Luna yang berdiri terpaku di tempatnya.

" Daddyhh...," panggil Luna, suaranya terdengar lirih.

Namun, Tiger tak menoleh. Ia terus berjalan, meninggalkan Luna yang berdiri sendirian di ruang makan.

Di dalam kamarnya, Tiger membanting pintu dengan keras. Ia berbaring di ranjang, menutupi kepalanya dengan selimut. Rasa sakit di dadanya semakin menjadi-jadi. Ia mencoba menahannya, tapi perasaan cemburu yang membara itu terus menyerang. "Kenapa aku bisa merasa sakit seperti ini?" gumamnya dalam hati.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan lembut. Luna memasuki kamar dengan langkah yang hati-hati. Ia melihat sang Ayah yang berbaring di ranjang dengan wajah muram.

"Daddyhh...," panggil Luna dengan suara yang lembut, mencoba menarik perhatian Tiger.

Tiger tak menjawab. Ia terus menutupi kepalanya dengan selimut, tak ingin bertemu dengan Luna.

Luna mendekati ranjang dan duduk di pinggirnya. Ia menarik selimut yang menutupi kepala Tiger dengan lembut.

"Daddy, kenapa kamu bersembunyi di dalam selimut?" tanya Luna dengan suara yang manis.

"Daddy sakit?"

Tiger menarik napas panjang. Ia tak bisa menahan rasa sayang yang melimpah untuk Luna. Ia menarik selimut dan menatap wajah Luna dengan sayang.

"Daddy nggak sakit, Luna. Daddy cuma ngantuk." jawab Tiger lembut.

" Luna juga ngantuk, Luna mau tidur sama Daddy! " seru kelinci kecil itu, langsung ikut masuk ke dalam selimut dan memeluk tubuh sang Ayah yang 3 kali lebih besar darinya.

Membenamkan wajahnya di dada bidang sang Ayah, " Daddy hangat, Luna sangat suka tidur bersama Daddy! " seru Luna menciumi dada bidang Tiger.

Tiger tersenyum, meraih tubuh mungil Luna dan memeluknya erat. "Tidurlah, Luna," bisiknya. "Daddy akan selalu ada untukmu."

Luna tertidur dengan tenang di pelukan Tiger. Tiger menatap wajah Luna yang tertidur lelap. Ia merasa sangat bahagia. Ia tak pernah menyangka bahwa ia akan merasakan kebahagiaan seperti ini.

"Luna, kau adalah segalanya bagiku," bisik Tiger, matanya berkaca-kaca. "Kau adalah cahaya yang menerangi hidupku, kau adalah cintaku."

*****

Di sisi lain, keindahan hutan Rimba yang penuh berkat kini terusik. Cahaya yang selalu mereka puja, cahaya yang menuntun mereka dalam kegelapan, tengah meredup, seakan menangis. Dewi Bulan, Dewi yang melindungi alam semesta dari kegelapan, menuntun makhluk hidup, dan meyakinkan mereka bahwa dalam kegelapan masih ada setitik cahaya indah yang selalu menjaga mereka.

Namun cahaya itu, kini seolah tak memiliki kehidupan. Alam semesta pun menjadi lebih gelap. Putri Waxing Crescent, dengan hati yang pedih, menghela napas melihat keadaan ibunya yang begitu menyedihkan sejak kejadian itu, kejadian 17 tahun silam dimana New Moon, bulan kedelapan, menghilang dari negeri bulan.

Dewi Bulan dan seluruh penghuni bulan telah mencari di seluruh alam semesta, namun tak dapat juga menemukan sang putri yang hilang. Rasa kehilangan itu begitu mendalam, menyelimuti setiap sudut negeri bulan.

"Orion! Kamu kembali akhirnya!" Putri First Quarter menyambut sang Orion dengan gembira, matanya berbinar-binar seperti bintang di langit malam. Orion adalah seorang ksatria pemberani yang telah pergi menjelajahi seisi semesta mencari New Moon.

"Salam Tuan Putri, Orion telah kembali," ujar pria berambut perak itu membungkuk hormat, tangannya menyentuh dada sebagai tanda penghormatan. Wajahnya, yang terukir garis-garis waktu akibat perjalanan panjang.

"Orion, apakah kamu berhasil menemukan New Moon?" tanya Putri First Quarter dengan suara yang bergetar, penuh harap.

Orion menarik napas dalam-dalam, matanya menatap langit malam yang gelap. "Saya telah menemukannya, Tuan Putri," jawabnya dengan suara yang berat, namun dipenuhi kelegaan.

"Bagus, ayo kita beritahu Ibunda Dewi!" Ujar Putri First Quarter, menarik tangan Orion dengan semangat. Mereka berdua berlari menuju istana Dewi Bulan, langkah mereka ringan, diiringi oleh angin malam yang berbisik harapan.

Istana Dewi Bulan, yang terbuat dari kristal putih berkilauan, menjulang tinggi. Taman-taman di sekitarnya dipenuhi dengan bunga-bunga yang bermekaran dalam berbagai warna, menciptakan aroma harum yang menenangkan, namun kini terasa hampa.

"Ibunda!" seru Putri First Quarter, memasuki ruang singgasana Dewi Bulan.

Dewi Bulan, yang duduk di singgasananya, terdiam. Wajahnya yang biasanya memancarkan cahaya lembut kini tampak suram, matanya redup seperti bintang yang kehilangan cahayanya. Ia telah menua dalam kesedihan selama 17 tahun, kehilangan cahaya putrinya, New Moon.

"Orion telah kembali, Ibunda," lanjut Putri First Quarter, "Ia membawa kabar baik."

Dewi Bulan perlahan mengangkat kepalanya, tatapannya jatuh pada Orion yang berdiri tegak di samping Putri First Quarter. "Orion," ucapnya lirih, "Apakah kau benar-benar menemukannya?"

Orion membungkuk hormat, "Ya, Dewi. Saya telah menemukan New Moon."

Seketika, ruangan itu terasa hening. Dewi Bulan terdiam, matanya berkaca-kaca. Rasa haru dan bahagia bercampur aduk dalam hatinya. Ia tak percaya bahwa putrinya yang hilang selama 17 tahun telah ditemukan.

"Dimana dia?" tanya Dewi Bulan, suaranya bergetar.

"New Moon berada di..." Orion terdiam sejenak, memilih kata-kata yang tepat. "Di bumi, ada sebuah tempat dimana Bulan bersinar lebih indah, saya meyakini tempat itulah dimana New Moon berada."

Dewi Bulan mengerutkan kening, "Bumi? Kenapa kau yakin dia berada di bumi?"

"Saya telah menjelajahi seluruh alam semesta, Dewi," jawab Orion, "Dan di bumi, saya merasakan sesuatu yang berbeda. Rasanya seperti... seperti ada sebuah kekuatan yang memanggil saya."

"Kekuatan?" tanya Dewi Bulan, "Kekuatan apa?"

"Saya tak tahu, Dewi," jawab Orion, "Namun saya yakin, New Moon berada di bumi."






Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ayah Harimau HausTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang