2

49 8 0
                                    

Tidak terasa, sekarang Ika sudah menginjak usia 14 tahun. Sudah 10 tahun terlewatkan dari kejadian tersebut.

Sringg...sringg..saat Dhias sedang memasak, tiba tiba perutnya dilingkari oleh tangan putih sedikit berurat. Dhias menoleh sebentar ke arah pemilik tangan tersebut sebelum memfokuskan dirinya lagi ke arah masakannya.

"Ayah~ ayah jadi kan datang ke acara graduation Ika ?" Ucap Ika sembari menyelusupkan kepalanya di ceruk leher Dhias. Saat ini, tinggi Ika mungkin lebih tinggi 2 cm dari Dhias.

Untuk orang tua siswa/siswi yang datang ke acara tersebut, harus bisa membuktikan adanya undangan yang diberikan oleh pihak sekolah. Tidak sembarangan orang tua bisa datang ke acara tersebut, hanya anaknya yang mendapatkan 5 nilai tertinggi dari setiap angkatan yang nanti orang tuanya bisa mendapatkan undangan.

Deheman terdengar dari mulut Dhias. Kedua tangan Dhias masih sibuk memegang alat masak tanpa memperdulikannya.

"Ayah, menu hari ini apa?" Tanya Ika sembari matanya sedikit melirik ke arah masakan Dhias.

"Ayah?"

Lama Ika menunggu jawaban Dhias. Tetapi sayangnya tidak ada jawaban yang terdengar dari mulutnya. Ika tersenyum, satu ide jahil muncul di dalam pikirannya.

"Ayah~~"

"Apa ayah tidak bisa mendengar ku?" Ucapnya dengan nada yang dibuat sedih. Bibirnya mencabik kesal.

"Apa kau tidak bisa melihatnya?" Kesal Dhias. Salah satu Tangannya mencoba melepaskan tautan tangan yang berada di pinggangnya.

Saat itu Ika hanya tertawa, entah sejak kapan ia menyukai raut wajah kesal Dhias. Dulu ia selalu takut saat berucap dengan Dhias, tetapi sekarang Ia sangat berani sekali.

Omg Haha, lihatlah? Ekspresi wajah ayah sangat menggemaskan sampai sampai aku bisa melihat kematianku.

Kalian tau? Ini sarkasme. Di sana, ayah sudah mengambil ancang-ancang untuk melemparkan pisau ini ke arahku.

Ika akhirnya menyerah, melepaskan pelukannya. Ia menyamakan posisinya menjadi bersebelahan dengan Dhias. Badannya ia senderkan pada Rak yang berada di sana

"Ayah."

Urat-urat kecil terbentuk di dahi Dhias. Ia membalikkan badannya lalu menatap Ika dengan ekspresi menyalang. "Apalagi!?" Sungguh, Dhias capek mendengar kicauan itu.

Ika terkekeh kecil. Ia menatap Dhias dengan tatapan yang dalam. "Aku akan pergi lebih cepat. aku kebetulan menjadi perwakilan dari seluruh angkatanku untuk berpidato nanti di atas podium." Ia memainkan jari jari tangannya. "mungkin, aku tidak akan bisa memakan masakan mu. Maafkan aku..." Ucapnya dengan lirih.

"Oke, pergilah."

"Tapi aku tidak mau~ aku tidak ingin membuat ayah sedih karena aku tidak memakan masakan ayah.."

Dhias membulatkan matanya, tidak percaya akan ucapan Ika yang ia lontarkan. "Dasar gila, itu tidak akan pernah terjadi, Tidak usah lebay. Sana pergi!" Sunggutnya sembari mendorong sedikit tubuh Ika.

Ika cengengesan saat itu. "Okey! okeyy! Aku pergi."Kaki jenjangnya melangkah ke arah kursi untuk mengambil tas lalu berjalan ke arah pintu."Good bye ayah~ love you. Jangan lupa ya, jam 10!" Ucapnya sebelum berakhir menghilang dari pintu.

"Dasar menjijikkan. Dari mana sikapnya itu berasal?" Dhias memijit kepalanya yang pusing, sungguh ia stres memiliki anak seperti Ika.

Everything will be fineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang