6

44 7 0
                                    


Arjuna mengangkat satu alisnya, tampak skeptis. "Trauma katamu? Bagaimana mungkin anak seperti ini bisa menjadi korban?" tanyanya sambil melirik Axel dengan ekor matanya. Ia merasa bahwa Axel, yang terlihat problematik, lebih mungkin menjadi pelaku daripada korban.

Eiwa menatap Arjuna dengan tajam. "Bagaimana kamu bisa berkata seperti itu? Yang aku tahu Kamu selalu acuh tak acuh padanya, jadi bagaimana kamu tau!?" ujarnya dengan penekanan, sambil berdiri dengan pose berkacak dada.

Arjuna membuka mulutnya untuk membantah, tetapi Eiwa lebih dulu untuk berbicara. "Tidak usah membantah, Arjun. Bahkan anak kecil pun bisa tahu saat melihat bagaimana perlakuanmu terhadap Axel."

Suasana di antara mereka semakin tegang, tetapi Eiwa tetap berdiri teguh. Arjun menggigit bibir bawahnya, Dalam hati, ia tahu akan hal itu, tetapi entah mengapa, ketika orang lain mengatakannya secara langsung, ia merasa kesal. "Tidak usah sok tau, Eiwa. Cepat pergi. Aku akan menghubungimu bila butuh." Serunya sembari mendorong sedikit bahu Eiwa.

Eiwa terhenti sejenak, terkejut oleh dorongan itu. Namun, ia tidak mundur. "Aku tidak akan pergi sebelum kamu menyadari betapa salahnya cara pandangmu," katanya tegas, matanya tidak lepas dari wajah Arjuna. "Sebagai dokter sekaligus sahabatmu, aku perlu mengubah pola pikir mu itu!"

Axel, yang sejak tadi hanya mendengarkan, merasa semakin tertekan. Kepalanya sendari tadi sudah berdenyut. "Kalian...kalau mau berantem mending keluar! Berisik tau tidak!? Kepalaku pusing.." Teriak Axel dengan raut wajah kesalnya.

Kedua orang itu mengalihkan pandangannya pada Axel. Eiwa menghela nafas mencoba menenangkan dirinya "Maafkan aku, Axel~ salahkan ayahmu yang membuatku marah." Ucapnya sembari menatap tajam Arjuna, bibirnya membentuk senyuman sinis. Arjuna mengangkat bahu, tampak tidak terpengaruh oleh Tatapan tajamnya.

Axel mengalihkan pandanganya menatap dingin kearah Arjuna ."Hey pak tua, Aku tidak tau apa masalahmu dengan anak ini. Tetapi kamu perlu tau, kamu itu adalah ayah yang buruk." Ucap Axel.
Tidak tau mengapa, perkataan Arjuna membuat dirinya kesal. Bagaimana pun, ia juga seorang ayah sekaligus orang tua.

Arjuna mengedipkan matanya, tertegun mendengar ucapan Axel. Ia terkekeh, "Kurang ajar, dasar bocah." Dengan langkah mendekat, ia mencondongkan tubuhnya ke arah Axel. "Pak tua katanya?" gumamnya. "Aku tidak menyangka kata-kata itu keluar dari mulutmu, yang dulunya selalu takut hanya dengan menatapku." Ucapnya dengan mengintimidasi. Tangannya ia angkat, mengusap pipi Remaja tersebut.

Plak

Arjuna menatap tangannya yang kebas akibat tamparan Axel. Ia tersenyum kecil, menahan geli yang bercampur dengan kemarahan, lalu berkacak pinggang dengan sikap santai seolah tidak ada yang terjadi. "Hei, Eiwa. Apa kehilangan ingatan bisa mengubah perilakunya juga?" tanyanya sambil melirik ke arah Eiwa, sahabat sekaligus orang yang selama ini merawat Axel setelah insiden yang membuatnya kehilangan ingatan.

Eiwa, yang berdiri tak jauh dari mereka, menghela napas panjang. Ia mengamati Axel yang berada di atas kasur dengan ekspresinya yang galak. "Sepertinya bukan kehilangan ingatan yang mengubah perilakunya, Arjuna," jawab Eiwa sambil menggeleng pelan.

"Jadi?"

"Aku tidak tahu~" Eiwa mengangkat bahunya.

."Dasar dokter abal abal." Cibir Arjuna.

Eiwa menoleh cepat, matanya menatap tajam, "Apa yang kau bilang? Apa aku perlu menunjukkan ijazah dan sertifikatku padamu!?" Nada suaranya meninggi.

"Kalau palsu, buat apa?" Arjuna terkekeh, lalu melirik Axel yang masih diam. Entah mengapa aura yang Axel pancarkan terasa tidak enak.

"Kau-"

"Kalian... keluar atau aku lempar benda ini," ucap Axel tiba-tiba, suaranya tegas dan penuh kemarahan, seraya mengangkat sebuah vas kecil yang ada di dekatnya. Ekspresinya yang dingin dan tatapan matanya yang tajam membuat suasana di ruangan itu mendadak berubah. Ketegangan meningkat seketika.

"Lihatlah, Axel berubah menjadi iblis," gumam Arjuna pelan, sedikit tak percaya dengan apa yang ia lihat.

Eiwa menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk meredakan situasi. "Axel, tenanglah... Kami hanya-"

"Ku bilang keluar!" potong Axel, suaranya bergetar oleh emosi. Ia mengangkat vas itu lebih tinggi, seolah siap melemparkannya kapan saja. Amarah yang Axel tunjukkan bukan sekadar kesal, tapi amat sangat kesal. Bayangkan saja, dia baru siuman, tetapi sudah disuguhi pemandangan yang kurang mengenakkan sendari tadi.

Eiwa mengangkat kedua tangannya, mundur perlahan. "Baiklah, baiklah... Kami pergi. Jangan lempar vasnya, itu mahal," ucapnya dengan nada setengah bercanda, mencoba meredakan ketegangan. Ia kemudian menarik kerah baju Arjuna untuk ikut keluar bersamanya. "Ayo " bisik Eiwa.

...

Everything will be fineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang