7

35 5 0
                                    




Setelah Arjuna dan Eiwa keluar, Axel menyandarkan tubuhnya di kepala kasur. Ia menghela napas dan menutup mata, mencoba meredakan kepalanya yang terasa berdenyut akibat rangkaian peristiwa yang terjadi begitu tiba-tiba. Hatinya masih berdebar, seperti ada sesuatu yang berat menggantung di dada. Axel berusaha menenangkan dirinya, memutar ulang kejadian di benaknya, mencari jawaban atau setidaknya sebuah pemahaman tentang apa yang sedang terjadi. Namun, semakin ia mencoba, semakin jauh ia tersesat dalam pikirannya sendiri.

"Ini sungguh menyeramkan. Apa Tuhan sedang bercanda denganku? Kuharap tidak." Gumamnya.

Kriuk..kriuk..

Ketika keheningan mulai terasa menyesakkan, tiba tiba dari arah perutnya terdengar sesuatu. Axel membuka mata. Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar. Aha.. sepertinya ia lapar.

Dengan gerakan cepat, Axel bangun dari tidurnya, tubuhnya terangkat dengan lincah.  Pandangannya mengedar, matanya bergerak cepat mencari alat pemanggil suster yang seharusnya berada di dekat tempat tidurnya.

Namun, Axel tidak menemukan alat pemanggil itu di tempat biasanya. "Kemana benda sialan itu?" gumamnya, mulai merasa frustrasi. Ia meraih meja kecil di samping tempat tidur, memeriksa di antara barang-barang, tetapi tetap tidak menemukannya.

"Ya ampun, kalau begini caranya, aku bisa mati kelaparan," ucap Axel kesal, seraya bangkit berdiri. Ia tak ragu mencabut infus yang tertancap di punggung tangannya, merasakan sedikit perih yang diabaikannya begitu saja. Ia menyeberangi kamar dengan langkah agak terseok, tubuhnya masih terasa lemah. Akhirnya, ia membuka pintu kamar dan melongok keluar, mencari seseorang yang bisa membantunya atau setidaknya menunjukkan jalan menuju kantin-tempat makan.

"Mengapa lorong ini sangat sepi?" gumamnya sambil melangkah keluar dari ruang kamarnya. Lorong rumah sakit yang biasanya dipenuhi suara langkah kaki dan percakapan kini terasa sunyi, seolah tempat itu ditinggalkan. Axel menghela napas panjang, menyadari tidak ada pilihan lain selain mencari makanannya sendiri. "Apa aku tiba tiba pindah alam ya?" Pikirnya setengah bercanda, tapi ada sedikit rasa cemas di balik kata-katanya. Tidak akan heran kalau ia benar benar dipindahkan, melihat dia bisa masuk ketubuh orang lain saja tidak mustahil.

Axel terus melangkah, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanyalah kebetulan. Namun, semakin ia berjalan, semakin ia merasa ada yang aneh. Lampu lorong berkedip-kedip, seolah akan padam kapan saja, dan udara terasa dingin menusuk. Tak ada suara, tak ada manusia, hanya dirinya dan bunyi langkah sepatunya yang bergema.

Ia berhenti sejenak di depan jendela besar yang menghadap ke halaman rumah sakit. Axel menatap keluar, melihat langit yang tampak kelabu, tidak seperti biasanya. Angin berembus pelan, menggoyangkan daun-daun pepohonan yang tampak layu. Axel merasakan bulu kuduknya berdiri, pemandangan ini terasa begitu asing dan tidak nyaman.

"Ini pasti hanya imajinasiku... kan?" Axel bergumam, mencoba menepis ketakutan yang mulai menyelinap. Namun, ketika ia kembali berjalan, langkahnya menjadi lebih hati-hati, seolah setiap sudut lorong menyimpan sesuatu yang tak terlihat.

Setelah beberapa menit berjalan tanpa arah, Axel mendengar sesuatu. Suara langkah kaki yang ringan dan teratur, mendekat dari ujung lorong. Axel berhenti, menajamkan pendengarannya. "Siapa di sana?" panggilnya, berharap mendengar jawaban.

Namun, yang ia dapatkan hanyalah keheningan. Axel mengumpulkan keberanian dan melangkah maju, berbelok di sudut lorong. Di sana, ia melihat seorang wanita tua dengan rambut panjang putih, mengenakan gaun rumah sakit yang lusuh. Wanita itu berdiri membelakanginya, menghadap dinding, tidak bergerak.

Axel menelan ludah, merasa sedikit ngeri. "Bu... Anda butuh bantuan?" tanyanya dengan suara bergetar. Wanita itu tidak menjawab, tetap membelakanginya dengan punggung yang membungkuk. Axel ragu, ingin mendekat tetapi kakinya terasa berat.

Ketika Axel hendak melangkah lebih dekat, wanita itu perlahan menoleh, dan Axel mendapati bahwa wajahnya tampak kosong, pucat, dan matanya melotot kearahnya. Axel terdiam, tubuhnya terasa kaku seolah terjebak dalam cengkeraman ketakutan yang mendalam. Sebelum ia bisa mengatakan apa-apa, wanita itu berbisik dengan suara pelan, hampir seperti desahan angin: "Kamu tidak seharusnya ada di sini, Dhias..."













Everything will be fineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang