005 : The First Move

38 7 0
                                    

ENJOY READING

𝄞⨾𓍢ִ໋

Kelap kelopak mata yang masih manja ternyenyak itu mengerjap, perlahan membuka matanya. Namun, pemandangan pertama yang ia lihat adalah kegelapan, tak berujung, dan tidak ada celah cahaya sama sekali. Ia kembali mengerjap beberapa kali guna menetralkan penglihatan agar dapat melihat sesuatu, namun, nihil.

Tentu kini ia dihujani rasa takut, pasalnya ia sangat ingat kemarin masih diberi karunia untuk melihat. Entah ia sedang ditindih, atau terkena darah rendah karena posisi tidurnya, yang juga tak ia ketahui bagaimana. Pikirannya berkecamuk.

"Ini gua masih di alam mimpi, kah?" Batinnya.

Mengingat ia memiliki tubuh, ia pun menggerakan lengannya dengan mencoba menyentuh sesuatu, tempat yang ia tiduri saat ini, berbahan empuk dan dapat dirasakan ini dibaluti sprei. Tentu jawabannya adalah kasur, tanpa harus menerka - nerka.

Ia kemudian menggeleng, begitu frustasi juga cemas ia rasakan. Pasalnya ia mulai memikirkan banyak kemungkinan negative yang terjadi pada dirinya. Bersusah payah ia tepis, namun semakin logis untuk diterima.

Berusaha mencegah sesek nafas karena cemas berlebihan, kini ia kembali menutup kelopak matanya. Berharap saat ia membukanya kembali, ada cahaya menyorot kedua matanya dengan pemandangan yang ia biasa lihat setiap harinya. Sembari menetralkan nafasnya yang tersengal, ia mengulum bibirnya, sedikit ragu untuk membukanya kembali.

Belum sempat membuka mata, wajahnya lebih dulu terhuyung pusing dengan pipi yang memanas. Ia semakin mengeratkan pejaman matanya menahan sakit, juga menetralkan pusing. Ia bahkan hanya ingin membuka mata, apa salah yang ia buat di pagi buta sampai ditampar oleh seseorang?

Sudah tak ragu membuka matanya, lantas ia lakukan. Dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah Chandra, dengan wajah merahnya menahan emosi. Bisa ia lihat nafasnya terpacu cepat. Ia membulatkan matanya ketika mendapati sosok si adek kelas yang pernah ia bicarakan dengan sepupunya itu - Fajjar, yang tengah merintih kesakitan. Dengan wajahnya yang penuh lebam, sudut bibirnya yang robek dan berdarah, juga rambutnya yang terlihat abstrak.

"Kak... t-tolong,"

Setelahnya indera pendengarannya membisu. Masih dapat ia lihat dengan jelas bagaimana Fajjar sangat disiksa oleh Chandra di depan mata, namun tak berlangsung lama sampai pandangannya memburam sempurna.




Plak!


"Akh!" Pekiknya kala sebuah tamparan kecil mengenai pipinya.

"Bil, bangun! cepet!" dapat ia dengar seseorang tengah seru berbisik tepat di telinganya. Ia pun menurut, membuka kelopak matanya hingga sadar, ia baru saja terbebas dari mimpi buruk.

Nafasnya terengah - engah dibarengi dengan banjir keringat di pelipisnya. "Kenapa, sih? mimpi dikejar sando jumbo rasa mint choco ya lu?" tanya Shaka memperkirakan.

Bilal masih setia bergeming sembari menatap Shaka, yang ditatap heran, "Serem, Bil, asli. Nyaut gak?" titah Shaka memaksa.

Setelah mendapat kesadaran, ia pun menggelengkan kepalanya. "Om Chandra.. ada?" tanyanya membuat Shaka semakin kebingungan.

"Ada, tuh, di ruang TV. Kenapa?"

"Ga sama Fajjar, kan? lagi ngapain dia?"

Shaka tak henti - hentinya mengerutkan keningnya, "Ngapain juga sama Fajjar? Kenal kagak!" ujarnya

Bilal bernafas lega setelahnya, kemudian bangkit dari kasurnya berniat untuk mengambil ponselnya di atas meja belajar. Namun langkahnya terhenti saat Shaka menarik lengannya.

Grayson Bilal AthalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang