004 : Keinginan Membantah

51 8 0
                                    

𝄞⨾𓍢ִ໋

Setelah menyusul ketiganya untuk turun ke lantai bawah, ia menghempaskan tubuhnya pada sofa depan ruang tv. Dengan pikirannya yang masih ingat jelas dengan logo musik di sebuah flashdisk. Ia yakini keluarga besarnya sangat anti musik, lalu apa guna flashdisk itu? Apa maksud dari logo musik? Mengapa Om Chandra dengan senantiasa menggenggam benda itu erat seakan tak ingin kehilangannya? Dan apa isinya?

Ia bisa saja tidak membebani dirinya dalam berpikir suatu hal yang bukan urusannya. Namun bukan Bilal namanya jika tidak kepo-an dan suka ikut campur.

Catra yang menyadari bahwa Bilal sedari tadi hanya melamun pun menghampirinya. Ikut mendudukkan dirinya di sofa. Namun sepertinya lelaki disampingnya ini sedang sangat sibuk memikirkan perusahaan atau semacamnya sampai tak menyadari eksistensinya.

Melihat Bilal yang tak bergeming dan masih sibuk melamun, ia merasa dihiraukan. Lantas lengannya beralih merangkul pundak Bilal. "kiw, adek," godanya, namun tetap saja lelaki disampingnya itu tak bergeming.

"Woi, anjeng!" Tangannya menepuk pipi Bilal sedikit kencang membuat Bilal kembali pada kesadarannya. Matanya mengerjap kemudian baru menyadari bahwa Catra merangkulnya, ia pun tertawa kecil, "Tiba - tiba banget? ngapain di sini?" dirinya bertanya sembari menatap Catra atas bawah seakan enggan dengan kehadiran Catra di dekatnya.

Dengan tiba - tiba Catra beranjak dari duduknya, disusul dengan tertawa lepas milik Bilal.

"Ya maaf sih, mas! lagian creepy banget lagi enak ngelamun, eh ada rubah got deket deket."

"Lama ga ketemu sekarang udah jadi kepala perusahaan atau apa?" Tanya Catra dengan sarkas karena terlihat jarang adik sepupunya ini melamun. "Congrats" ujarnya lalu dengan santai meraih remote televisi guna memindahkan siaran yang ingin ditonton.

Bilal acuh, tak memperdulikan juga tak berniat untuk menjawab pertanyaan Catra. Hingga Catra membuka pembicaraan kembali dengan topik baru.

"Kelas 11 udah ulangan harian belum?" Bima semakin enggan untuk menjawab, namun takut dipandang tak sopan oleh kakak sepupunya lantas ia menjawab, "Udah".

"Shaka bilang lo sering ikut olimpiade? Di pajang di poster juga tuh, tapi ga pernah cerita" Catra mencari topik asal, dirinya tahu bagaimana juga Bilal mau bercerita jika ia berkunjung ke rumahnya saja hanya 1 bulan sekali.

Bilal mendelik menanggapi pertanyaan Catra. Ia pikir pembahasan seperti ini hanya sebatas basa - basi memecah keheningan. Ia muak betul dengan tingkah dramatis Catra jikalau baginya ia melakukan kesalahan yang membuat dirinya sedikit tersinggung.

"Biasa aja kali liatnya. Duh, yang udah jadi artis kepalang sombong padahal sama sepupu sendiri. Pasti udah digatelin cewe - cewe jadi besar hati, miris." Bilal dibuat kesal bukan main, darahnya berdesir seakan tak tahan ingin menonjok mulut bebeknya yang terus menyerocos tak bermakna.

"TEPUNG!!" Bilal sukses dibuat kaget oleh teriakan yang bisa didengar pelakunya adalah Atlas Arshaka.

"APASIH?!"

"Bil!" Sisa energi untuk berteriak kian menyurut saat sudah tiba di pinggir sofa tempat Bilal duduk. Tangannya bertumpu pada sofa juga yang lainnya bertumpu pada lututnya tuk menteralkan nafasnya yang terengah - engah karena sudah berlarian dari lantai atas hingga bawah sembari meneriaki nama Bilal.

"Bil- eh, sebelumnya maaf gua gabisa bantu apa - apa. Tuh, Om Bara udah nunggu lo di ruangannya, katanya cepet." Jelasnya dengan tone suara yang panik.

Sedangkan Bilal yang masih tak beranjak dari sofa terlihat santai mendengarnya, biasanya pun kalo gaada Shaka, dia hampir setiap minggu rutin disuruh langsung oleh ayahnya tuk bertatap muka berdua saja di ruangan kerja sang ayah.

Grayson Bilal AthalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang