02

169 34 15
                                    

⋆⋆⋆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Di luar hujan turun semakin deras, bahkan sesekali terdengar guntur yang saling bersahutan. Arunika mengetuk pintu kamar berwarna coklat tua di depannya. Saat tidak segera mendapat balasan dari dalam dia memilih untuk membuka pintunya — kosong. Namun terdengar suara dari arah kamar mandi, sepertinya Pranala masih ada di dalamnya. Adik pertamanya itu punya kebiasaan membersihkan diri dalam waktu lama — untung saja setiap ruangan memiliki kamar mandi masing-masing.

Alhirnya dia memilih untuk merapikan tas yang diletakkan sembarangan, meletakannya di kursi belajar. Kamar adiknya selalu rapi, setiap sudutnya terorganisir dengan apik. Pranala sepertinya tidak akan membiarkan sedikit debu singgah di dalam kamarnya. Netranya tanpa sengaja terpaku pada kertas yang sudah di remas, dia berniat untuk membuangnya. Namun saat melihat apa yang ada di sana dia urung.

"Perlombaan musik?" gumam Arunika membaca apa yang tertera pada kertas yang ternyata adalah sebuah brosur perlombaan.

"Kak Aru?" Pranala yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut melihat presensi kakaknya. Netranya ikut serta menatap apa yang sedang dipegang Arunika, dengan langkah terburu dia segera mengambil alih kertas itu. Meremasnya lagi dan dengan cepat membuang dalam kotak sampah.

"Itu punya temen aku, kayaknya kebawa waktu aku pinjam bukunya." Tanpa ditanya pun diminta dengan segera Pranala menjelaskan kronologinya.

Arunika menatap adik pertamanya yang terlihat menghindar kontak mata dengannya. "Kenapa harus dibuang? Padahal kan bisa kamu kembalikan?"

Jangan lupa mata Arunika yang tajam bisa membuat lawan bicaranya gugup tidak karuan, itu yang dirasakan Pranala sekarang. Bibirnya terasa kelu dan otaknya mendadak beku — sedikit hiperbola tetapi memang begitu adanya. Saat akan membalas terdengar panggilan dari luar, itu suara sang bunda. Hal itu membuatnya diam-diam merasa lega, dia terbebas dari tatapan intimidasi kakak sulungnya.

"Kakak turun dulu aja, nanti aku nyusul. Mau keringin rambut dulu." Arunika mengangguk, sebenarnya dia ingin kembali bertanya tetapi mungkin bisa nanti saja. Sang bunda sudah memanggilnya, jika tidak segera bisa-bisa muncul kultum dadakan.

"Ya udah kamu jangan lama-lama." Arunika melangkahkan kakinya pergi dari ruangan penuh warna biru muda. Meninggalkan Pranala yang kini terdiam. Setelah memastikan kakaknya tidak tiba-tiba kembali. Dia melangkahkan kakinya menuju pojok ruangan, mengambil gumpalan kertas yang tadi dia buang.

Netranya terpaku dengan apa yang disampaikan di dalamnya. "Lusa ya," gumam Pranala sebelum akhirnya memilih untuk merobeknya kertas itu dan membuangnya.

୨———୧

"Udah bunda kasih tau kalau sebelum berangkat itu semua dicek dulu. Kamu tuh ya, payung ditinggal, kunci ditinggal, lama-lama hidung kalau engga nempel juga bakalan kamu tinggal."

Segitiga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang