Pranala: Tenang dan Tidak Banyak Bicara

186 28 9
                                    

⋆⋆⋆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Suhu malam ini terasa dingin, terlebih sore tadi hujan turun dengan lebat. Bahkan sisa rintikannya masih setia membungkus kota, merata membaginya. Pranala memeluk erat kedua sisi tubuhnya, dia lupa jika jaketnya ada pada si bungsu. Tadi pagi Swara meninggalkan jaketnya, mengeluh kedinginan hingga akhirnya Pranala mengalah dan memberikan jaket miliknya kepada sang adik.

"La, beneran engga mau bareng aku aja?" Sebuah suara dari sampingnya membuat Nala yang semula menatap jalanan menjadi mengalihkan perhatiannya. Dia Daniela, salah satu siswi di tempat bimbelnya. Dulu keduanya satu sekolah sewaktu SMP, tetapi berpisah saat memasuki SMA.

"Engga El, rumah kita jauh banget. Lagian aku bisa naik tak —"

"Engga jauh Nala. Lagian nih ya, kita berdua kan engga jalan kaki. Supir aku habis ini sampai."

"Engga Ela sayang, nanti kamu jadi harus muter-muter dulu." Saat Daniela ingin kembali memberi sanggahan, Pranala segera memotongnya dengan memanggil dan melambaikan tangan untuk menghentikan taksi.

"Nah tuh taksinya udah dapet." Kemudian menghadap ke arah Daniela yang masih kini menatapnya dengan sebal. Pranala menujukkan senyum lebar, dia tau temannya itu kesal karena dia menolak untuk diantar.

"Aku pulang duluan ya, maaf engga bisa nunggu sampai jemputan kamu sampai. Aku ngga enak kalau taksinya nunggu lama." Daniela menganggukan kepala, menarik tangan Pranala agar kembali berlindung dibawah halte. Gerimis masih belum juga reda.

"Iya udah sana dan ngga perlu minta maaf La udah aku bilang santai aja sih. Kamu itu temen aku, jangan kayak orang asing gitu." Pranala menganggukan kepala, merasa hangat mendengar penuturan Daniela.

"Nanti kalau udah sampai saling kabar ya."

Setelah melihat Daniela menganggukan kepala, kemudian dia masuk ke dalam taksi yang senantiasa menunggunya. Menyempatkan diri untuk melambaikan tangan kepada Daniela yang masih memperhatikannya.

Saat taksi sudah mulai berjalan menuju rumahnya, Pranala mengusap surainya yang sedikit lepek terkena rintikan hujan. Tangannya bergerak memeriksa ponsel miliknya, kembali mengirimkan pesan yang belum juga dibalas oleh kedua orang tuanya. Sepertinya mereka sedang lembur seperti hari-hari biasanya. Tidak heran, sang bunda adalah dokter bedah sedangkan ayahnya merupakan kontraktor yang merangkap sebagai arsitek.

Netranya teralih memerhatikan kegiatan dibalik kaca taksi yang ditumpanginya. Banyak sekali kegiatan yang terjeda; pengantar makanan yang sibuk membungkus pesanannya agar tetap terjaga, pejalanan kaki yang berlomba-lomba mencari tempat berteduh sementara, pengendara roda dua yang melaju kian cepat atau juga yang memilih berteduh di toko yang sudah tertutup rapat.

Jarum jam sudah menujukkan pukul 9 malam, tetapi yang namanya kota tidak pernah mati. Kata ayahnya semakin tengah malam maka makna kehidupan yang sebenarnya akan menampakkan diri. Dia belum tau maksudnya, mungkin nanti.

Segitiga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang