Prolog

476 51 1
                                    

Minggu pagi Sheza diusik oleh suara nyaring telepon yang terus menerus berbunyi.

"Aaaa, siapa sih pagi-pagi calling!" Sheza meraba-raba nakas mengambil ponselnya. Dengan nyawa yang masih belum terkumpul, ia angkat panggilan yang tidak tau dari mana asalnya.

"Ya Allah, anak gadis jam segini belum bangun."

Mendengar suara sang mama membuat nyawa Sheza langsung penuh. Ia melihat kearah layar ponsel yang menunjukkan wajah mamanya. "Disini masih jam 6 pagi mama." rengek Sheza, yang mengingatkan sang mama jika ada perbedaan waktu lima jam Jakarta dengan Paris.

Di layar Rania tampak menajamkan mata melihat ada yang berbeda dengan Sheza. "Itu rambut kamu cat apa lagi?" melihat mamanya berteriak siap mengomel, Sheza hanya memasang wajah datar. Karena memang sudah biasa melihat mamanya seperti itu.

"Ash grey ma namanya. Bagus kan?" Sheza memamerkan rambut barunya kepada Rania, dengan gaya centil.

"Kamu pulang besok, mama papa mau jodohin kamu."

Sheza diam seketika mendengar perkataan sang mama, kemudian tertawa tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Gara-gara ganti warna rambut, seorang anak disuruh nikah sama orang tuanya." lagi-lagi Sheza tertawa setelah mengucapkan kalimat ala-ala pembaca berita.

"Orang mama serius, kok malah ketawa."

Tawa Sheza seketika hilang. "Maaa, aku gak mau dijodohin, aku udah punya El. Pokoknya aku gak mau pulang. Titik!"

"Gak papa kamu gak pulang besok, berarti lamaran langsung diterima." kata-kata yang sudah siap keluar dari mulut Sheza tertahan karena video call diputuskan oleh sang mama. Sheza berteriak frustrasi sambil berguling guling tidak karuan diatas ranjang, untuk melampiaskan kekesalan.

 Sheza berteriak frustrasi sambil berguling guling tidak karuan diatas ranjang, untuk melampiaskan kekesalan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"San, nikah rasanya gimana?"

Sandy yang sedang meminum kopi hampir menyemburkan setelah mendengar pertanyaan Rafa. Ada angin apa seorang Rafa yang dunianya hanya untuk kerja, tiba-tiba saja membicarakan pernikahan.

"Gue serius ini." ucap Rafa lagi mempertegas pertanyaannya.

"Nikah rasanya, enak. Tidur ada yang meluk, makan ada yang masakin, pulang kerja ada yang menyambut, pokoknya semua serba enak kalo punya istri. Part paling enak sih pas-"

"Udah sampe situ aja, gue tau isi otak lo." Potong Rafa tidak ingin mendengar penjelasan Sandy yang terlalu too much.

"Nyokap lo minta lo bawa cewe kerumah ya?" Sandy menebak apa yang membuat wajah Rafa kusut.

"Gue mau dijodohin." Sandy terkekeh. Tidak kaget jika sahabatnya itu akan berakhir dalam perjodohan. Sandy tahu Rafa normal tidak seperti yang orang-orang gosipkan, tapi tetap saja rumor Rafa gay cukup mengganggu. Khususnya untuk orang tua Rafa.

"Yaudah, gas aja. Gue siap jadi groomsman lo."

Rafa memutar bola matanya kesal. "Masalahnya nih, gue gak tau mau dijodohin sama siapa dan semuanya juga terlalu tiba-tiba. Klien kita juga lagi banyak banget bulan ini."

Sandy menghela napas, ujungnya pasti Rafa menjadikan pekerjaan sebagai alasan. Padahal firma hukum tempatnya bekerja adalah milik Rafa sendiri. Ada karyawan juga yang bisa mengerjakan tugasnya jika nanti ditinggal mengurus pernikahan.

"Lo mau pesta pernikahan berapa hari sih? mentok juga cuti seminggu sampai honeymoon." Rafa memijat pelipisnya, kepalanya mendadak pening.

Bagi Rafa pernikahan itu sakral dan harus sekali seumur hidup. Maka dari itu ia sangat amat hati-hati dalam mencari pasangan. Meskipun ibunya selalu menodongkan pertanyaan kapan bawa calon istri, Rafa selalu punya seribu cara untuk menghindar. Karena memang belum ada yang cocok untuk dirinya- lebih tepatnya belum pernah mencari pasangan gimana mau ketemu yang cocok.

"Selera tante Yola udah pasti bagus, calon istri lo gak mungkin jelek. Bibit bebet bobotnya udah pasti jelas."

"Rasanya gue belum siap jagain anak orang San. Lo tau kan, terkadang emosi gue suka meledak ledak. Apa iya gue bisa hidup seatap dengan orang yang belum pernah gue kenal."

"Raf, lo gak bisa selamanya hidup sendirian. Nyokap bokap lo, gue, dan teman-teman lo yang lain gak selamanya ada di sisi lo. Pada akhirnya lo butuh partner untuk menjalani kehidupan."

Rafa menghembuskan napas pasrah. Perkataan Sandy benar. Selain itu, mana mungkin juga ia bisa menolak permintaan bunda dan ayahnya.


---

Trying in DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang