Sequel

110 14 5
                                    

Kabut duka menyelimuti seluruh istana. 

Para pelayan, prajurit, dan rakyat yang berkumpul di depan gerbang istana memandang dengan wajah penuh duka saat peti jenazah Raja Yejong dibawa menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Suara denting lonceng yang berkumandang sepanjang jalan menambah berat suasana.

Ratu Sundeok menangis tanpa henti, wajahnya basah oleh air mata. Seonghwa, dengan langkah yang tertatih-tatih dan tubuh yang masih lemah, berjalan di samping peti jenazah ayahnya, dibantu oleh Pangeran Yeosang dan Yunho, pelayan setia keluarga istana.

Seonghwa mencoba menahan air matanya, tetapi tubuhnya yang masih dalam masa nifas terasa terlalu lemah untuk menahan beban emosional yang begitu besar. Ia baru saja mengalami penderitaan fisik yang luar biasa, dan kini, tanpa waktu untuk pulih sepenuhnya, ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa ayahnya telah tiada.

Ia tidak siap untuk ini—tidak siap kehilangan ayahnya, tidak siap memikul beban takhta yang begitu berat, tidak siap menjadi raja.

Pikiran Seonghwa terasa kabur, terombang-ambing di antara rasa duka dan kelelahan yang tak berujung. Matanya berkabut ketika ia melirik ke arah peti jenazah ayahnya. Ia tahu, sebagai putra mahkota, cepat atau lambat ia harus menjadi raja. Tetapi tidak pernah dalam mimpinya ia menyangka bahwa saat itu akan datang secepat ini.

Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, lukanya masih belum sembuh total. Ia bahkan belum menikah, belum memiliki seorang permaisuri untuk mendampinginya dalam mengarungi beban kerajaan ini.

Yunho yang setia berada di sampingnya, memberikan dukungan diam-diam. "Yang Mulia, kami ada di sini untukmu," bisik Yunho dengan lembut.

Pangeran Yeosang menatap kakaknya dengan tatapan cemas, tahu betapa rapuhnya Seonghwa saat ini, tapi tetap menunjukkan keberanian di hadapan semua orang. "Kita harus tetap kuat, hyungnim," ucapnya pelan.

Seonghwa mengangguk, meskipun hatinya masih tercekat oleh rasa kehilangan. Suara isak tangis Ratu Sundeok bergema di udara, menciptakan suasana yang penuh kesedihan. Seonghwa meremas tangannya sendiri, mencoba meredam guncangan emosinya.

Tapi air mata yang ia coba tahan selama ini akhirnya jatuh juga, bergulir pelan di pipinya.

.

.

.

Beberapa minggu setelah upacara pemakaman, Seonghwa telah melewati masa nifasnya.

Berkat bantuan dari para tabib dan perhatian penuh dari keluarganya, lukanya mulai membaik. Meski tubuhnya perlahan pulih, hatinya masih terasa kosong. Luka kehilangan ayahnya belum juga sembuh, dan kini beban yang lebih besar menantinya: ia harus bersiap untuk diangkat menjadi raja.

Upacara penobatan dilakukan dengan penuh khidmat. Langit cerah, seolah memberkati hari itu dengan kedamaian. Rakyat berkumpul di halaman istana, menyaksikan Putra Mahkota Seonghwa naik takhta. Ia mengenakan Jubah Kebesaran, wajahnya tetap dingin dan tanpa ekspresi.

Di dalam hatinya, ia masih berusaha menerima kenyataan yang tak terhindarkan ini. Takdir telah membawanya ke posisi ini, dan ia tahu tidak ada pilihan selain menerimanya.

Para pejabat istana bersujud di hadapannya, mengucapkan selamat. Tapi Seonghwa merasa semua itu kosong. Ia tidak merasakan kebanggaan ataupun kebahagiaan. Ini hanyalah bagian dari takdirnya yang harus ia jalani.

Saat upacara selesai, Seonghwa melangkah perlahan menuju ruangannya. Pikirannya dipenuhi banyak hal, dari tanggung jawab sebagai Raja hingga masa depan kerajaan. Namun tiba-tiba, langkahnya terhenti.

Di tengah halaman, di antara kerumunan para pejabat dan prajurit, ada satu sosok yang tak mungkin dilupakan oleh Seonghwa.

Hongjoong.

Lethal Settlement ⚔ joonghwa [⏹]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang