Pimchanok duduk diam di kursi kayu dekat jendela, menatap gelapnya malam di luar. Pikirannya melayang-layang, mencoba mencari celah untuk memahami apa yang sedang ia rasakan. Tiba-tiba, langkah Nutcharee terdengar mendekat dari belakang. Pimchanok bisa merasakan hawa dingin yang selalu muncul ketika pacarnya itu mendekat.
“Apa yang sedang kau pikirkan, Pim?”
Suaranya tenang, tapi ada ketegangan tersembunyi di dalamnya, seolah menunggu jawaban yang salah.“Aku hanya... memikirkan betapa sunyinya malam ini.”
Pimchanok mencoba tersenyum, meskipun hatinya berdebar kencang.“Sunyi? Bukankah kita sudah cukup bersama? Atau kau mulai merasa bosan denganku?”
Nutcharee melangkah mendekat, tangannya perlahan menyentuh pundak Pimchanok. Sentuhan yang terlihat lembut, namun terasa menekan.“Tidak... tidak sama sekali. Aku hanya... merasa sedikit lelah.”
Ia menelan ludah, berharap Nutcharee tak melanjutkan pertanyaannya. Namun harapannya segera pupus.“Lelah? Dari apa, Pim? Aku sudah melakukan segalanya untukmu. Atau... kau ingin pergi?”
Nada suara Nutcharee berubah, dingin dan mengancam, seolah mencoba memancing sesuatu dari Pimchanok.“Aku tidak ingin pergi... aku tak akan meninggalkanmu.”
Pimchanok meraih tangan Nutcharee, memegangnya erat-erat, berharap itu bisa menenangkan pacarnya. Namun, ia tahu itu sia-sia.“Kau tidak bisa pergi. Tidak akan pernah. Kau tahu itu, kan? Hanya aku yang mengerti dirimu, Pim. Hanya aku yang bisa mencintaimu seperti ini.”
Tangan Nutcharee mengelus rambut Pimchanok, sementara tangan lainnya mencengkeram bahunya semakin kuat.
“Bayangkan jika kau pergi... di mana lagi kau bisa menemukan cinta seperti ini?”“Aku... aku tahu, Nutcharee. Aku tidak akan ke mana-mana. Aku hanya lelah... mungkin besok kita bisa berjalan-jalan di desa? Udara segar mungkin bisa membuat kita merasa lebih baik.”
Pimchanok mencoba mengalihkan pembicaraan, suaranya hampir memohon.“Udara segar? Kau pikir udara segar bisa menghilangkan keinginanmu untuk pergi? Kau pikir aku tak tahu apa yang kau pikirkan, Pim?”
Matanya menyipit, mendekatkan wajahnya ke Pimchanok.
“Aku selalu tahu. Kau ingin pergi, kan? Berhenti berpura-pura.”Pimchanok terdiam, tak tahu harus berkata apa. Tangan Nutcharee kini bergerak dari bahunya ke lehernya, perlahan namun terasa mengancam.
“Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku tidak tahu betapa kau ingin lari? Kau selalu ingin kabur dari cinta ini. Tapi ingat, Pim, tak ada yang bisa mencintaimu seperti aku. Tak ada yang akan menerimamu seperti aku.”
Senyuman tipis Nutcharee terbentuk di wajahnya, namun itu bukan senyum yang menghibur. Itu adalah senyuman penuh kekuasaan.“Aku tidak ingin pergi... aku mencintaimu, Nutcharee, sungguh. Aku hanya... hanya ingin kita berbahagia bersama.”
Air mata mulai mengalir di pipi Pimchanok, namun ia tak berani mengusapnya. Ia takut gerakannya akan membuat Nutcharee semakin marah.“Bahagia? Oh, kita akan bahagia, Pim. Tapi kebahagiaan itu hanya datang jika kau tetap di sisiku. Jangan pernah berpikir kau bisa kabur. Jika kau mencoba... aku tidak tahu apa yang akan terjadi padamu.”
Kata-katanya halus, namun ancaman di baliknya begitu jelas.“Aku mengerti... aku mengerti, Nutcharee. Aku akan tetap di sini. Selalu.”
Ia menundukkan kepalanya, menyerah pada nasibnya, terperangkap dalam cinta yang penuh ancaman ini.Nutcharee menatapnya sejenak, lalu mengangkat wajah Pimchanok dengan lembut, jari-jarinya menyusuri pipi Pimchanok yang basah.
“Itu yang ingin kudengar. Lihatlah aku, Pim. Lihat ke dalam mataku. Kau adalah milikku, hanya milikku. Tak ada seorang pun yang bisa merebutmu dariku.”
Suaranya melunak, hampir seperti bisikan, tapi tetap penuh dengan kendali.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Unseen Wounds
Детектив / ТриллерSetiap luka di tubuhnya, setiap kata kasar yang dilemparkan padanya, terasa seperti hukuman atas kesalahan yang tak pernah ia lakukan. Depresi itu datang perlahan, menyelinap seperti kabut yang merayap di malam hari. Pada awalnya, ia hanya merasa le...