Chapter 2

325 28 0
                                    

Sebuah ketukan keras menggema di pintu kayu rumah Nutcharee. Pimchanok, yang tengah menyiapkan sarapan, tersentak. Ia tahu jarang ada tamu yang datang ke rumah mereka. Jantungnya langsung berdetak cepat, rasa khawatir melingkupi dirinya. Nutcharee yang berada di ruang tamu segera beranjak menuju pintu, ekspresinya dingin seperti biasa.

Pintu terbuka, dan di baliknya berdiri seorang pria yang tak asing lagi bagi Pimchanok. Itu adalah Pakin, kakak laki-laki yang sudah lama tak ia temui. Pakin terlihat tegang, matanya memandang lurus ke arah Nutcharee.

“Apa yang kau lakukan di sini?”
Nada suaranya terdengar tegas dan dingin. Ia tak suka dengan kehadiran yang tak diundang.

“Aku datang untuk melihat adikku. Di mana Pim?”
Pakin tidak membuang waktu, langsung melangkah masuk tanpa meminta izin.

Pimchanok yang mendengar suaranya segera muncul dari dapur, dengan ekspresi kaget yang bercampur dengan kecemasan.

“Phi Pa... apa yang kau lakukan di sini?”
Ia merasa dadanya sesak, takut dengan apa yang akan terjadi jika Nutcharee merasa terganggu oleh kehadiran kakaknya.

“Aku mencarimu, Pim. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres.”
Matanya menyapu seluruh ruangan sebelum kembali menatap adiknya.
“Kau tidak pernah menghubungiku lagi, bahkan tidak pernah menjawab pesanku. Kau seperti menghilang dari kehidupan keluarga.”

Pimchanok melihat ke arah Nutcharee yang kini menatapnya tajam. Dalam sekejap, ia tahu apa yang harus ia katakan.

“Aku baik-baik saja, Phi. Aku hanya... sibuk dengan kehidupanku di sini.”
Suaranya bergetar, tapi ia berusaha menenangkan dirinya di depan kakaknya.

“Pim baik-baik saja di sini. Aku yang menjaganya, jadi kau tak perlu khawatir.”
Nada suara Nutcharee penuh dengan ancaman terselubung, dan Pakin bisa merasakannya.

“Aku tidak percaya itu. Lihatlah dirimu, Pim. Kau bukan dirimu yang dulu. Ada yang salah di sini. Dan kau,”
Pakin menunjuk Nutcharee dengan ekspresi marah.
“Kau mungkin bisa menipu adikku, tapi tidak denganku.”

Nutcharee tersenyum tipis, penuh kesombongan.

“Kau datang jauh-jauh hanya untuk menuduhku? Aku tak punya waktu untuk menghadapi ini. Pim adalah milikku sekarang, dan jika kau tak suka, kau bisa pergi.”
Kata-katanya jelas, penuh dominasi, seolah-olah Pakin tidak lebih dari pengganggu di sarangnya.

“Phi Pa, tolong... jangan marah.”
Pimchanok meraih tangan kakaknya, mencoba menenangkannya.
“Aku baik-baik saja, sungguh. Kau tak perlu khawatir.”

“Tidak, Pim. Aku tahu kau tidak baik-baik saja. Aku tak akan pergi sampai aku memastikan kau aman. Dan kau,”
Pakin kembali menatap Nutcharee dengan tajam.
“Jika kau menyakiti adikku, aku tidak akan diam saja.”

Nutcharee hanya tertawa kecil, tapi matanya penuh dengan kemarahan yang ditekan. Sebelum ia bisa membalas kata-kata Pakin, sebuah suara lain tiba-tiba terdengar dari luar rumah.

Pintu depan yang masih terbuka memperlihatkan sosok yang berdiri di sana, seseorang yang bahkan lebih mengejutkan dari kehadiran Pakin. Itu adalah Vipada, mantan pacar Pimchanok yang sudah lama menghilang. Vipada tampak tenang, namun ada kepercayaan diri di balik sorot matanya.

“Pim.”
Suara Vipada lembut, namun tegas. Ia berjalan masuk dengan langkah yang anggun, mengabaikan tatapan Nutcharee yang langsung berubah dingin.
“Sudah terlalu lama.”

Pimchanok hanya bisa berdiri terpaku. Kehadiran Vipada, orang dari masa lalunya yang dulu pernah begitu ia cintai, membuat pikirannya kacau.

“Vipada? Apa... apa yang kau lakukan di sini?”
Suaranya hampir berbisik, penuh kebingungan.

The Unseen WoundsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang