PROLOG

789 57 5
                                    

Langit sore mulai gelap, namun cahaya di dalam kamarnya seolah tak pernah menyinari jiwanya. Ia duduk diam di sudut ruangan, punggungnya menempel pada dinding yang dingin. Setiap detik yang berlalu terasa seperti beban berat di dadanya, semakin sulit bernapas, semakin sulit merasakan apa pun selain kehampaan yang menelan seluruh dirinya.

Ia merapatkan lutut ke dadanya, mencoba menenangkan diri, namun getaran halus di tangannya tak pernah benar-benar berhenti. Sudah lama sekali sejak ia merasa benar-benar bebas, dan sekarang, bahkan di saat-saat ketika pacarnya tak ada di sekitarnya, kehadiran orang itu masih menghantuinya. Bukan hanya melalui ingatan-ingatan buruk, tapi juga ketakutan yang tertanam dalam setiap inci pikirannya.

Setiap kata, setiap ancaman, setiap perlakuan menyakitkan yang diterimanya telah membentuk sebuah tembok tak kasat mata di dalam dirinya, mengurungnya dalam ketakutan yang konstan. Ia sering berpikir, bagaimana mungkin orang yang dulu ia cintai begitu dalam kini menjadi sosok yang tak terduga, kejam, dan penuh kontrol?

Dari luar, ia masih terlihat sama seperti dulu. Pacarnya tetap tersenyum di depan orang lain, menyembunyikan sisi gelap yang hanya ia ketahui. Tetapi di balik pintu-pintu yang tertutup, senyuman itu berubah menjadi wajah tanpa emosi yang dingin, yang hanya bisa merasakan kesenangan dari kendali dan kekerasan. Setiap hari, ia berjalan di atas pecahan kaca, selalu waspada, selalu menunggu kapan serangan berikutnya akan datang.

Pikiran-pikirannya selalu berputar, terjebak dalam lingkaran tak berujung antara rasa bersalah dan ketakutan. "Apa ini salahku?" bisik hatinya berulang kali. "Apakah aku pantas mendapatkannya?" Pertanyaan itu terus bergema, semakin lama semakin dalam, hingga ia mulai meyakini kebohongan-kebohongan itu sebagai kenyataan. Setiap luka di tubuhnya, setiap kata kasar yang dilemparkan padanya, terasa seperti hukuman atas kesalahan yang tak pernah ia lakukan.

Depresi itu datang perlahan, menyelinap seperti kabut yang merayap di malam hari. Pada awalnya, ia hanya merasa lelah, lelah secara fisik dan emosional. Namun seiring waktu, rasa lelah itu berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih berat. Sekarang, setiap hari terasa seperti pertarungan untuk tetap berdiri, untuk tetap hidup.

"Aku hanya ingin semuanya berakhir," bisiknya kepada dirinya sendiri, suara yang nyaris tak terdengar di antara keheningan ruangan. Namun meski begitu, ia tidak bisa melepaskan diri dari lingkaran yang menjeratnya. Setiap kali ia mencoba membayangkan kehidupan di luar sana, di luar kendali pacarnya, ia merasa takut, takut akan konsekuensi yang mungkin lebih buruk dari apa yang sudah ia alami.

Dalam kesendiriannya, ia tahu, tak ada yang melihat, tak ada yang mendengar jeritannya yang teredam. Dan di dalam kegelapan itu, ia tenggelam lebih dalam, berharap ada jalan keluar, namun takut untuk mengambilnya.

---

LINGORM

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

LINGORM

Lingling Kwong As Nutcharee (Nut)
Orm Kornnaphat As Pimchanok (Pim)

Tokoh lainnya silahkan terserah readers saja😂

The Unseen WoundsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang