Bali
Malam itu terasa begitu hening, seolah seluruh dunia memutuskan untuk diam sejenak. Di luar, rintik hujan turun pelan, menyatu dengan aroma tanah basah yang menguar ke udara, membawa serta sebuah nostalgia yang tidak pernah benar-benar bisa gue jelaskan. Cahaya hangat dari lampu meja belajar di kamar gue menyinari sudut-sudut yang sepi, menciptakan suasana tenang yang anehnya terasa menenangkan. Di ponsel gue, playlist "I Keep You in Here" terus mengalun pelan, seperti teman setia yang selalu ada. Gue hapal betul gambar profil playlist itu—dua pasang kaki bersepatu putih, berhadapan. Terlalu banyak cerita yang tertinggal di balik foto itu, terlalu banyak kenangan yang gue simpan diam-diam.
Gue, Putu Elika Camelia Dhiari—biasa dipanggil Elika. Gue baru aja masuk umur dua puluh lima, anak pertama dari empat bersaudara yang lahir dan besar di Bali. Rambut gue nggak terlalu panjang, sebahu, dan selalu ada jepit kesayangan yang menempel, sudah menjadi bagian dari diri gue. Malam itu, gue menggunakan baju barong berwarna cerah dan celana pendek yang nyaman, membuat suasana malam terasa hangat dan santai, cocok untuk malam yang hujan seperti ini.
Di depan gue, ada sebuah kotak kecil yang sudah usang. Sudah lama gue simpan di sudut lemari, terbuka setelah sekian lama tidak gue sentuh. Di salah satu sudut kotak itu, tertulis dengan tinta yang hampir pudar: "All About You—Aboyy." Nama yang dulu, buat gue, sangat berarti. Gue ragu untuk menyentuh kotak itu, tetapi tangan gue bergerak sendiri. Jemari gue menyentuh permukaannya yang mulai berdebu, membawa perasaan lama yang gue kira sudah mati, kembali mengalir pelan.
Di dalam kotak itu ada barang-barang kecil yang penuh kenangan: surat-surat yang udah mulai kusut, foto-foto yang warnanya mulai memudar, dan beberapa benda kecil yang dulu bersinar tetapi sekarang kehilangan kilaunya. Semua itu adalah bagian dari masa lalu gue, cerita tentang seseorang yang pernah menjadi pusat hidup gue. Gue menarik napas panjang, membiarkan kenangan-kenangan itu mengalir bebas, mengajak gue kembali ke masa-masa yang sudah lama terkubur. Setiap benda di dalam kotak ini seperti bisikan halus yang memanggil ingatan gue—tentang tawa, tentang kebahagiaan yang dulu selalu ada.
Gue ambil salah satu foto. Di situ terlihat dua pasang kaki bersepatu putih, berhadapan satu sama lain. "Bandung," gue bergumam pelan, mengingat kota yang dulu menjadi latar kisah kami. Gue ingat betul setiap sudutnya, jalan-jalan yang kita susuri sambil diterpa hujan, tempat kita berhenti di kafe kecil untuk sekadar menikmati kopi hangat. Di Bandung, semua terasa sempurna. Di sana, cinta kita tumbuh, seperti tanaman yang berakar di antara rintik hujan dan jalanan berbatu yang ramai. Gue tidak pernah menyangka semuanya bisa berakhir. Saat itu, gue yakin kita tidak akan pernah terpisah, seakan hidup kita akan selamanya jadi bagian dari mimpi yang tidak akan pernah bangun.
Tapi sekarang, semua itu tinggal kenangan. Terbungkus dalam kotak kecil yang usang ini. Gue memejamkan mata, membiarkan semua perasaan yang dulu pernah gue coba kubur kembali memenuhi hati gue. Gue masih bisa merasakan genggaman hangatnya, mendengar tawa yang dulu selalu mengisi hari-hari gue, dan melihat senyum yang selalu membuat dunia gue terasa lebih baik. Tapi sekarang, semua itu terasa jauh, seperti bayangan samar yang terus memudar setiap kali gue coba menggapainya.
Dengan tangan sedikit gemetar, gue ambil selembar surat dari dalam kotak itu. Tulisannya sudah mulai kabur, tetapi setiap kata masih bisa gue baca jelas. Gue inget hari ketika surat itu diberikan—Bandung penuh bunga-bunga yang bermekaran di sepanjang jalan, dan langit mendung yang waktu itu membuat suasana menjadi lebih magis. Kebersamaan kami waktu itu terasa sempurna, seperti tidak ada yang bisa memisahkan kami.
Air mata jatuh perlahan di pipi gue. Di luar, hujan semakin deras, seperti seirama dengan hati gue yang sedang tenggelam dalam kenangan. Malam ini, entah kenapa, semuanya datang lagi. Kenangan tentang Bandung, tentang dia, seperti menghampiri gue tanpa permisi. Mungkin karena lagu yang gue putar, mungkin karena suara hujan, atau mungkin karena kerinduan yang sudah lama gue pendam dan sekarang tidak bisa gue tahan lagi.
Gue menatap keluar jendela, melihat ke arah kota yang sekarang terasa begitu jauh. Bandung, tempat yang dulu memberikan gue kebahagiaan luar biasa, sekarang hanya menjadi latar belakang dari cerita yang sudah lama berakhir. Meski semua sudah berubah, kenangan itu masih ada. Tertanam dalam hati gue, tak tergantikan, meskipun waktu terus berjalan dan dunia terus berputar.
Dan malam itu, di antara suara hujan dan alunan musik yang lembut, gue sadar bahwa meskipun kenangan dapat membuka luka lama, mereka juga bisa menjadi cara buat gue berdamai dengan masa lalu. Gue tahu, mungkin gue tidak akan pernah sepenuhnya melupakan, tapi malam ini, gue belajar bahwa terkadang, mengingat adalah satu-satunya cara buat benar-benar melepaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Favorite Lesson
Teen FictionBandung-sebuah kota yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu, bukan tempat jatuh cinta. Namun, di sinilah Elika merasakan denyut kehidupan yang berbeda-pengalaman pertama sebagai mahasiswi, mengukir momen tak terlupakan, mengenal arti kedekatan...