Setelah pertemuan pertama dengan mahasiswa baru di kelompoknya, Elika dan teman-teman kelasnya berkumpul di salah satu tempat yang sangat terkenal di Telkom University, yaitu WDP (Warung Depan Pagar). Tempat ini dinamakan demikian karena lokasinya dikelilingi oleh pagar yang membentang dari bundaran Telkom University hingga gerbang 3 kampus. Di sebuah meja sederhana, terlihat empat mahasiswi yang tengah bercanda dan bersenda gurau—Elika, Saskia, serta dua teman dekatnya, Cia dan Selina.
Ariana Miftahina Putri, atau yang akrab dipanggil Cia, adalah sosok yang selalu ceria dan ramah. Suasana selalu menjadi lebih hidup ketika ia berada di antara teman-temannya. Cia tak pernah segan menjadi mood booster, meski terkadang sikapnya yang cerewet dan seperti ibu-ibu bisa membuat seisi meja tertawa. Tapi di balik semua itu, Cia dikenal peka terhadap perasaan orang-orang di sekitarnya, selalu siap membantu kapan pun dibutuhkan.
Di sisi lain, Selina Devanira adalah gadis yang terlihat polos, meski seringkali ia lebih banyak diam. Di antara mereka, Selina adalah satu-satunya yang sudah punya pacar. Dia dan Elika begitu dekat, sering dianggap seperti dua sejoli yang tak terpisahkan, terutama saat di kelas. Selina selalu ada, mendampingi Elika, seperti bayangannya.
Sambil mengaduk-aduk es teh tarikya, Cia tiba-tiba melirik Elika dengan senyum jahil yang sudah ia kenal baik. "Gimana tadi ketemu sama adik-adik maba yang kyut?" tanyanya, tak mampu menyembunyikan nada menggoda di ujung kalimat.
Sebelum Elika sempat merespons, Saskia dengan semangat lebih dulu menjawab. "Eh, kelompok maba gue seru banget, sumpah! Mereka ramah, langsung nyambung ngobrol satu sama lain. Gue nggak nyangka bakal segampang itu nge-blend sama mereka," ucapnya dengan mata berbinar, antusias menceritakan pengalaman bertemu kelompoknya. Wajahnya tampak berseri, menggambarkan betapa ia sangat menikmati momen tersebut.
Selina yang duduk di sebelah Elika pun tak mau ketinggalan, menoleh dengan rasa ingin tahu yang terlihat di matanya. "Kalau lu gimana, Ka?" tanyanya pelan namun penuh harap.
Elika tersenyum simpul, lalu mengangkat bahunya ringan. "Hmm... walaupun maba gue nggak seramah dan nggak se-cair kelompoknya Saskia, yang terpenting sih maba gue ganteng-ganteng," balasnya sambil terkekeh, membuat teman-temannya langsung tertawa bersama. Nada candaan yang ringan itu langsung memecah suasana.
Cia, yang ternyata sempat melihat kelompok maba Elika dan Saskia tadi sore, langsung ikut menimpali. "Ya gasalah sih, emang maba lu ganteng-ganteng banget! Tapi plis deh, bukan tipe gue. Gasuka brondong," ucapnya sambil tertawa lepas, memamerkan senyum jahil khasnya, yang langsung membuat suasana meja semakin riuh.
Tawa mereka memenuhi sudut WDP, mencairkan malam yang sebelumnya lelah dengan aktivitas. Di tengah canda tawa dan obrolan ringan itu, mereka berbagi momen hangat yang membuat rasa penat seakan hilang. Duduk bersama di tempat yang begitu akrab bagi para mahasiswa Telkom, mereka melepas lelah dan penat setelah hari yang panjang, menciptakan kenangan kecil yang akan terus dikenang sepanjang masa kuliah mereka.
Setelah tawa mereka mereda, tiba-tiba seorang pria berwajah kusut muncul di hadapan mereka. Damar, duduk di kursi kosong dengan wajah penuh lelah. Cia yang selalu penuh perhatian langsung menyadari perubahan raut wajah Damar dan segera bertanya, "Loh, kenapa muka lo kusut banget, Mar? Ada apa nih?"
Damar menghela napas panjang, lalu mulai berkeluh kesah. "Aduh, sumpah, pertemuan sama maba tadi bikin gue pusing. Kelompok gue tuh... gimana ya, bukannya nggak bisa diatur, tapi mereka kayak nggak ada energi gitu, udah gitu susah banget diajak ngobrol. Bener-bener menguras tenaga dan mood."
Saskia yang duduk di seberangnya mengangguk paham, lalu menyenggol Damar dengan senyum simpul. "Gimana maba lu, Sas?" tanya Damar penasaran.
Saskia tersenyum lebar. "Aman aja, mereka lumayan mau bonding satu sama lain. Ya, meskipun ada beberapa yang harus di-highlight namanya sih, soalnya mereka keliatan dominan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Favorite Lesson
Teen FictionBandung-sebuah kota yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu, bukan tempat jatuh cinta. Namun, di sinilah Elika merasakan denyut kehidupan yang berbeda-pengalaman pertama sebagai mahasiswi, mengukir momen tak terlupakan, mengenal arti kedekatan...