5| KOMUNIKASI MELALUI TULISAN

183 34 3
                                    

Senja yang ku lewati bersama Rindah tadi telah hilang seakan dimakan kegelapan, tapi jangan khawatir, cahaya bulan yang seolah menolong bumi yang gelap di  malam hari tidak kalah menakjubkan dengan senja.

Baru saja aku melaksanakan sholat isya, kemudian beranjak mengambil tasku, aku membukanya perlahan, ku ambillah buku-buku ku untuk berinisiatif belajar.

"Ini apa?" tanya keponakanku menghentikan aktivitas belajarku. Ia menemukan kertas di dalam tasku.

Keponakanku, anak dari abangku, Mirza Satejo Vajendra. Abangku itu telah menikah dan dikaruniai satu anak laki-laki, yaitu anak kecil berusia lima tahun yang sekarang sedang bertanya denganku, memiliki nama lengkap Lucas Pradipta Vajendra. Keluarga kecil abangku tinggal di desa Ernawa, dan kebetulan malam ini mereka menginap di rumah ayahku.

Aku segera menarik kertas yang di pegang keponakanku, membukanya perlahan untuk memastikan kertas tersebut bertujuan untuk apa.

Terimakasih telah menolongku hari ini, terimakasih telah rela berjalan menuntun sepedaku padahal kamu bisa segera pulang dengan motormu, terimakasih telah mengantarku pulang sedangkan rumah kita tidak searah. Aku sedikit canggung denganmu, pasti kamu menyadarinya kan? Tapi tenang saja, sekarang atau besok mungkin aku usahakan tidak. Oh ya, aku suka dengan teka-teki mu, meskipun sedikit aneh.
-Rindah

Isi surat tersebut menuliskan kalimat seperti itu, tulisan tangan dengan nama pemiliknya tertulis di bawah yang sudah pasti itu Rindah yang menulisnya dan menyelipkannya di dalam tasku tadi.

Saat membaca surat darinya, aku ingat bahwasannya motorku belum ku ambil dari Liyan. Aku dengan segera beranjak berdiri mengambil jaketku.

"Mau kemana?" tanya anak kecil laki-laki yang duduk di atas kasur kamarku, menatapku dengan tatapan polos.

"Ikut nggak?" tanyaku.

"IKUT!" teriaknya gembira melompat dari atas kasur.

Kami berdua segera keluar dari kamar, bergegas menuju rumah Liyan. Saat melewati ruang tamu, langkah kami terhenti.

"Arep nang ndi bengi-bengi?" tanya Abangku. Dalam bahasa Indonesia memiliki arti, "Mau kemana malam-malam?"

"Ngambil motorku," jawabku.

"Kui!" tangan abangku menunjuk motorku yang telah terparkir di depan rumah.

"Kok udah di sini?" tanya berjalan duduk di kursi tamu rumahku.

"Tadi ada orang yang mengantarnya!" jawabnya.

Aku menepuk pelan pundak Lucas, mengucapkan beberapa kata sembari tertawa, "Nggak jadi Kas!"

"AH!NGGAK ACIK!" teriaknya kesal.

Aku semakin tertawa cekikikan dengan keponakan kelakuan abangku, diikuti abangku yang juga tertawa.

°
°

Esok harinya, tanggal 04 Mei 1987, hari di mana kami anggota organisasi beladiri BDWR harus berlatih.

Sebelum latihan organisasi tersebut di sekolah, aku berniat untuk menjemput Rindah, karena sepedanya sekarang ada di rumahku.

"Assalamualaikum," salamku telah sampai di depan rumah temanku.

"Waalaikumsalam," jawab laki-laki tua keluar dari pintu rumahnya.

Segera aku mencium tangannya, dan bertanya mengenai Rindah, "Rindah nya ada?"

"Rindah!" panggilnya. Kemudian berteriak, "Pacarmu sudah menjemput!"

"B-bukan!" kataku sembari menggoyangkan telapak tanganku ke kanan ke kiri dengan cepat.

BAHASA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang