6| NARASI TEPIAN SUNGAI

162 34 2
                                    

Setiap sepulang sekolah kami selalu di sana, di bawah naungan pohon besar lapangan sekolahku. Kami menghabiskan waktu sore bersama, belajar bersama, serta bergurau ria yang membuat suara tawa kami terdengar di udara.

Tanggal  25 mei 1987, kami akan kembali belajar bersama seperti biasa untuk persiapan olimpiade bahasa Inggris.

Tapi kali ini berbeda, kami akan belajar di daerah persawahan yang letaknya di tepian sungai. Udara sejuk membuatku menjadi lebih semangat, Angin tertiup lembut membuat bajuku yang tak ku kancing kan dibuat bergoyang olehnya.

Waktu pulang sekolah di sekolahku pukul setengah dua, dan kami bertiga harus menambah belajar kembali pukul tiga. Biasanya kami akan baru pulang pukul empat, hal ini membuat tubuh dan otak kami merasakan kecapean. Belum lagi aku, kadang aku harus membantu ayah dan abangku bekerja di ladang hingga adzan Magrib.

Telah kami putuskan bersama bahwa hari ini untuk belajar di tempat ini, di tepian sungai daerah persawahan dengan suasana sejuk, yang mampu membuat otakku merasakan dingin.

Telah selesai dan cukup kami melakukan belajar bersama tadi, kami memang sengaja segera menutup pembelajaran hari ini lebih awal dari biasanya. Sekarang kami tinggal bersantai menikmati pemandangan indah di area persawahan di tepian sungai di sana.

"Gio!" panggilku kepada temanku. Sontak dia langsung menoleh padaku, tatapannya dingin dan datar seolah sudah muak dengan dunia, bukan-bukan! Mungkin denganku.

"Ayo mancing!" ajakku. Kemudian aku mengeluarkan alat pancing yang ada di dalam tas selempang ku.

"Aneh sekali! Bawa alat pancing," kata teman perempuanku di sebelahku. Ia mengamati ku saat aku sedang menyiapkan alat pancing, "Umpannya apa?" katanya penasaran.

"Apa ya.." pikirku. Aku melirik pada temanku Gio, "Bagaimana kalau, Gio!" ucapku. Kemudian aku berlari menuju tepian sungai.

Suara gantungan kunci yang bersentuhan terdengar di telingaku, gantungan kunci milik Rindah, Ia berjalan menuju tempatku, meninggalkan Gio sendirian di sana.

"Hobi mu memancing ya?" tanya Rindah. Kemudian duduk di sebelahku.

"Iya," jawabku yang fokus memancing.

"Apa yang kamu suka dari memancing?" tanyanya kembali.

"Seperti halnya denganmu..." kataku. Kemudian ku lanjutkan kembali, "Kamu yang menyukai bunga."

"Aku menyukai bunga karena mereka cantik," ucapnya. Kemudian bertanya lagi padaku, "Kamu menyukai memancing karena ikan cantik juga?"

"Hahaha! Tidak begitu!" ucapku tertawa karena kata-kata Rindah. Kemudian aku mengambil satu ikan yang telah ku dapat beberapa menit tadi, "Mereka lucu!" aku memperlihatkan ikan itu kepada Rindah.

"Tahu tidak kenapa ikan itu hidup di air?"

"Kenapa?" tanya Rindah penasaran.

"Ya, karena mereka lucu," ucapku kembali memperlihatkan kembali ikan itu kepada Rindah. Kemudian melanjutkan bicaraku, "Coba Gio yang hidup di air, tidak akan pantas! Dia tidak lucu."

Rindah yang mendengarkan ucapanku sontak tertawa, "Benar juga!Hahaha!"

°
°

Sepertinya jam telah menunjukan pukul empat, yang biasanya kami sudah pulang, hari ini kami masih disini, masih nyaman dengan menikmati pemandangan disini.

Aku berniat juga untuk membakar tiga ikan yang telah kudapat di sungai tadi.

"Ada yang bawa korek?" tanyaku kepada kedua temanku.

Dengan tanpa suara, Gio memberikan korek yang ia bawa padaku.

"Kau merokok lagi ya?" tanyaku mengambil korek dari tangannya.

"Padahal kau sudah berjanji nggak akan merokok," kataku. Sembari aku menyalakan korek untuk membakar ikan.

"Lain waktu masih bisa berjanji lagi!" ucap Gio.

"Masih kecil sudah merokok!" kataku kesal.

Gio melirikku sinis, "Sudah besar masih penakut," ucap Gio balas dendam padaku.

"Sudah-sudah!" lerai Rindah. Ia mengatur api untuk membakar ikan, "Ini apinya jangan besar-besar, nanti sawahnya ikut terbakar!" larangnya agar aku tidak membuat api yang besar.

Senja mulai menampakkan dirinya, terlihat dari jauh pohon-pohon di sekitar mulai memantulkan warna jingga, daun daunnya bergoyang tertiup angin. Ikan yang ku bakar tadi, baunya ikut bersama terbawa angin lembut, bau sedap mereka seakan memenuhi sekitar persawahan.

Kami mulai memakan ikan di sana, membaginya satu-satu.

Disela-sela saat menikmati makan, aku meraih tasku, berniat mengambil sesuatu di dalamnya.

"Ini!" ucapku memberikan sampul buku kepada kedua temanku.

Sebenarnya mereka menitip sampul buku padaku, sampul buku untuk menyampul buku bahasa Indonesia.
ibu Bila, guru bahasa Indonesiaku menyuruh siswa kelasku untuk menyampul buku catatan masing-masing dengan sampul berwarna biru tua. Tapi aku salah membelinya, aku membelinya warna biru muda.

"Kok warna biru muda?" tanya Rindah.

"Tunggu saja bertahun-tahun!" ucapku. Kemudian ku lanjutkan, "Nanti akan jadi biru tua!"

Serentak kedua temanku menatapku seakan mereka telah mendengar suara yang mengagetkan.

°
°

Hari mulai meredup, kami telah menghabiskan waktu banyak di sini, terdengar gemerisik daun yang tertiup angin sepoi-sepoi, seolah mereka mengucap selamat tinggal kepada kami.

Rindah mulai menuntun sepedanya keluar dari jalanan daerah persawahan yang seluruhnya di selimuti oleh rumput, aku dan Gio di belakang juga sepertinya, menuntun motor kami masing-masing.

Suara langkah kaki kami yang teredam oleh rerumputan hijau menambah kesan tenang yang menyelimuti tempat ini.

Tubuhku seakan tak ingin pergi dari cerita menyenangkan hari ini, tentang tepian sungai dan rerumputan hijau persawahan.

Saat hendak memasuki jalanan, aku menoleh dari jauh tempat mengesankan itu, tempat itu begitu indah saat ku pandang dari jauh, seolah menyuruh kami bertiga untuk kembali mengunjungi tempat itu lain waktu.

"Daniel! Ayo!" panggil Gio dari jauh. Dia berteriak memanggilku, menyuruhku untuk segera pulang ke rumah.

BAHASA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang