BAB 14 False Plan

4 2 0
                                    


"Perlu banget ya si Ale nganter kamu sampai bandara?" Lev berbisik saat menyaksikan tangan Ale melambai pada Rayya setelah memeluknya cukup lama.

Lev dan Rayya kini bersiap untuk masuk ke pengecekan bandara international setempat.

"Pak Lev, kalau memang tidak nyaman dengan apa yang Ale lakukan, harusnya sejak awal tidak menawari saya ikut business trip ini!" Rayya kini tak tahan jika harus mengalah dan menuruti semua omelan bosnya.

Keduanya memulai perjalanan dengan wajah suram. Rayya tak bisa tenang, bahkan sampai sekarang dia bingung bagaimana bisa paspor yang seingatnya dia taruh di laci meja kamarnya mendadak sudah ada di dalam tasnya semalam.

"Pak Lev, saya mau kita tidur di tempat terpisah." Rayya merasa bersalah jika harus menghabiskan malam sekamar lagi.

Mau bagaimanapun, Ale adalah calon suami yang harus dia hormati. Meski itu sudah terlambat dan tak ada bedanya lagi karena selama ini Lev sudah lebih dulu menikmati tubuhnya.

"Kenapa memangnya?" Lev tak melihat ke arah Rayya dan lebih tertarik pada TV kecil di depan tempat duduknya.

Akibat booking mendadak, mereka harus rela duduk di kursi kelas ekonomi untuk penerbangan ke Singapore. Sesuai dengan konsekuensi yang harus diemban oleh Lev agar Rayya bisa segera pisah dari pacarnya.

Ia sudah muak harus melihat adegan romantis Rayya dan Ale yang tak melihat tempat dan waktu.

Kedua jemari Rayya terpaut dan ia mengatakan usulannya dengan ragu, "saya hanya ingin tidur sendirian."

"Kamu boleh tidur sendiri. Asal kamu bayar dengan uang kamu nanti."

Rayya terkejut dengan jawaban si bos. Pakai uang sendiri? Yang benar saja.

"Maksud Pak Lev?" Panggilan 'pak' sengaja dia sematkan agar menjaga jarak. Dia sudah terlalu jatuh dalam perangkap Lev selama di Bali hingga bersedia menghabiskan waktu dengannya.

"Ya aku dalam business trip ini kan cuma sendirian. Bukannya nanti malah aneh kalau di invoice aku pesan dua kamar? Yang benar saja kamu!"

Suasana hening. Rayya tahu Lev sedang sangat marah padanya.

Sesampainya di bandara Chang I, dia tak banyak bicara dan mengikuti bosnya saja saat tahu ada seseorang yang memang telah disiapkan untuk menjemput keduanya.

Rayya sempat browsing berapa harga sewa kamar di hotel yang akan dia tempati semalam. Hampir menyentuh angka enam juta rupiah. Fantastis!

Tidak mungkin separo lebih gajinya akan dia habiskan sia-sia untuk menginap di hotel ini. Lagipula, itu juga kalau hanya semalam. Bagaimana jika dua atau tiga malam?

Kepala Rayya mulai pusing dan tangannya gemetaran. Tadi dia tidak menyentuh sama sekali makanan di pesawat. Bahkan dia tidak sempat sarapan.

Lev masih check in dan Rayya menunggu di sofa lobby.

"Ayo, naik!" Pinta bosnya. 

Rayya tak berani bertanya soal kunci kamar. Kalau benar-benar Lev akan memesan dua kamar, itu artinya Rayya harus bersiap merogoh koceknya dalam-dalam.

Hingga di lantai sepuluh, keduanya berhenti dan keluar dari lift. Jantung Rayya makin terpacu. Bagaimana jika Lev memesan dua kamar? 

Tapi... akan jauh lebih awkward kalau nanti Lev dan dia menghabiskan waktu dalam kamar yang sama lagi.

"Masuklah." Seru Lev.

Rayya ragu tapi akhirnya membawa tas bawaanya ke dalam kamar.

"Pak Lev, bagaimana?"

"Gampang! Aku bisa cari hotel lain. Kamu tidur sini saja." Jawabnya datar.

"Pak, saya pikir itu tidak perlu. Biar saya tidur di sofa dan Pak Lev tidur di bed-nya." Rayya menunduk malu, dia tahu kalau Lev mengetahui keadaan keuangannya yang serba menipis.

"Sudahlah. Aku tidak akan menyentuhmu dan aku akan memastikan aku jaga jarak darimu." Lev bermaksud menyeret kopernya lagi.

Rayya merasa tidak enak.

"Pak Lev, di sini saja. Maafkan saya." Rayya memohon. 

Dia bingung bagaimana harus memposisikan diri. Lev tampak kaku dan memasang muka dingin.

Rasanya memang mereka sebenarnya bukanlah sepasang kekasih lagi. Sejak awal harusnya Rayya tak mudah goyah pada rayuan bosnya.

"Jangan panggil aku 'Pak Lev' terus. Aku pusing mendengarnya!" Kata Lev saat menutup pintu dan ikut masuk ke kamar bersama Rayya. "Kalau memang kamu tidak ingin aku jamah, cukup kamu bilang tidak!"

Bisikannya terdengar seperti suara ajakan daripada sebuah larangan.

"Pak..."

Lev menempelkan jari telunjuknya di bibir Rayya. "Berhenti memanggilku demikian atau aku akan membungkam bibirmu dengan milikku!"

**

Seharian Lev sudah disibukkan lagi dengan meeting dan tak ada di kamar sampai larut malam.

Meeting yang cukup menguras tenaganya.

Rayya tak berani ke restoran hotel dan memilih untuk mengeksplore wilayah sekitaran hotel dan mencari makanan di convenient store terdekat. Itu lebih aman dan terjangkau.

Saat Lev kembali ke kamar, sudah terlihat begitu banyak bungkus makanan berserakan di meja.

"Rayya, kamu makan snack ini semuanya seharian?" Lev terkejut.

"Iya, Pak. Maksudku... Iya..." Jawabnya malu.

"Kenapa tidak makan di restoran saja?" Lev bertanya heran.

"Nggak usah. Tadi aku ingin coba-coba aja makan dari Seven Eleven. Bosan makanan berat..."

Bosnya mengangguk dan berbisik. "Tapi, aku nggak pernah bosan sama kamu!"

"Pak Lev ngomong apa?" Rayya bertanya. 

Sang bos tersenyum dan menjawab pelan, "tidak apa-apa. Hanya lelucon tidak penting."

Tak lama kemudian, muncul lagi gangguan. Ale menelpon Rayya dan dia segera meninggalkan bosnya untuk menjauh ke luar kamar.

Sial. Kenapa dia selalu menelpon di saat-saat begini? 

'Sudah kubilang, seharusnya kamu memperbolehkan aku menghabisi Ale sekaligus orang tuanya agar kamu bisa mulus sama mainanmu itu!' Sebuah suara tak berwujud terdengar jelas di kamar hotel.

Lev menggeleng dan menyuruh suara itu enyah dari kamarnya dengan tangan kanan. Rupanya Lev tahu kalau Rayya memang sedang membuka pintu.



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RAYYA: kisah cinta dua alamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang