16

121 40 0
                                    

***

Ini hari yang lain lagi. Kesibukan membunuh euforia seks mereka. Tidak ada pertemuan, tidak ada pembicaraan, mereka tidak bertukar kabar, tidak bertukar pesan apalagi menelepon— seolah handphone tidak pernah diciptakan di sana. Entah karena terlalu malu atau mereka yang sama-sama tidak menyimpan nomor telepon satu sama lain.

Tiga hari pertama suasana hati keduanya benar-benar luar biasa. Apapun kesalahan yang dokter residen lakukan, Lisa bahkan Jiyong bisa memaafkan mereka. "Tidak apa-apa, aku bisa memaklumimu, ulangi lagi dengan benar," begitu katanya, dengan bibir yang terus mengukir senyum. Meski dokter residen membuatnya dibentak pasien, meski dokter residen itu salah melakukan uji sampel, salah mengambil rontgen pasien, salah menghubungi dokter spesialis hanya karena nama belakang mereka sama, semuanya termaafkan tiga hari ini.

Tapi euforia itu berakhir setelah melewati tanggal kadaluarsanya. Tidak ada lagi lonjakan dopamin, semuanya kembali normal. Lisa kembali jadi mentor pemarah dengan stok kesabaran yang selalu habis dan tidak pernah diisi ulang. Lalu Jiyong kembali jadi dokter spesialis yang selalu mengusir orang lain— ia suruh pergi semua orang yang mengganggunya, termasuk Lisa, bahkan Teo bosnya.

"Kau perlu berhubungan seks lagi," kata Soohyuk, yang hari ini pergi makan malam bersama Jiyong. Mereka sengaja pergi berdua, makan malam di restoran cepat saji sebelum berangkat ke stadion untuk menonton pertandingan basket di sana.

"Aku hanya bertengkar sedikit dengan dokter Song karena dia hampir membuat pasienku lumpuh," kata Jiyong. "Kami hanya bertengkar di ruang operasi, setelah selesai, hubungan kami baik-baik saja," susulnya.

"Kau bertengkar dengan semua orang di rumah sakit," kata Soohyuk. "Dua minggu lalu kau melakukannya dan selama beberapa hari semuanya tenang. Meski kesal, kau tetap baik, terus tersenyum, ramah ke semua orang, seperti seorang yang kecanduan ekstasi. Tapi sekarang kau mulai menyebalkan lagi, kau mau jadi musuh satu rumah sakit atau bagaimana?" herannya kemudian.

"Ya! Kau membuatku terdengar berengsek, kau pikir aku kecanduan seks atau bagaimana?" ketus Jiyong, lagi-lagi mulai kehilangan kesabarannya.

"Augh! Kau mulai lagi," sebal Soohyuk. "Sepulang dari sini, kau mau aku carikan pelacur? Seperti apa tipe wanitamu? Submissive? Dominant? Rambut hitam? Blonde?" tanyanya, setengah meledek, setengah lainnya serius. "Dengan uangmu sekarang, kau bisa menyewa pelacur untuk semalam penuh. Tidak perlu berhenti meski sudah satu jam tapi belum puas," susulnya.

"Kau benar-benar minta dipukul-"

"Kalau begitu ajak Lisa melakukannya lagi! Goda dia lagi! Ya Tuhan! Aku benar-benar lelah mendengar orang-orang mengeluh tentangmu," potong Soohyuk. "Kau membuat daddy's girl menangis, tidak hanya sekali, tapi empat kali, dalam satu shift. Bagaimana kau bisa membuatnya menangis empat kali hanya dalam beberapa jam?"

"Lisa yang bertanggung jawab tentang itu, dia yang menyuruh daddy's girl mengikutiku," katanya membela diri. "Dia tahu aku tidak tertarik jadi mentor, tapi dia mengirim daddy's girl padaku. Lalu kau tahu apa yang gadis itu lakukan? Dia bilang ke pasienku— kalau kau lumpuh, kau bisa membeli kursi roda. Zaman sekarang ada banyak kursi roda bagus, ada yang punya baterai jadi kau hanya perlu menggerakan tuasnya, seperti menyetir— dia bilang begitu ke atlet football yang cidera. Pasienku jadi menolak operasi karenanya. Aku tidak akan membiarkannya ikut ke bangsal VIP lagi," cerita Jiyong.

"Lisa bilang begitu?"

"Daddy's girl! Augh! Kau benar-benar bodoh," keluhnya kemudian, padahal beberapa hari lalu, Jiyong tidak pernah mengomentari pertanyaan Soohyuk, meski pertanyaan bodoh sekalipun.

"Kau benar-benar butuh seks, akan aku beritahu Lisa untuk mengobati masalah emosimu lagi," komentar Soohyuk, tapi tidak pernah menghubungi Lisa.

Jiyong mengancamnya, kalau sampai Soohyuk menghubungi Lisa, ia akan memukul wajahnya. Bagi seorang yang sangat menyayangi ketampanannya sendiri, Soohyuk memilih untuk diam. Ia memilih untuk melindungi aset berharganya.

Sedang di saat yang sama, tapi di rumah sakit, Seunghyun keheranan. "Kemarin-kemarin kau sangat bersemangat untuk pulang," katanya, melihat pada Lisa yang menolak diajak pulang. Lisa menyuruh Seunghyun untuk pulang sendiri dengan sepeda motornya. Sedang gadis itu ingin tetap tinggal di rumah sakit. "Kenapa tiba-tiba kau mau tinggal di sini? Rumahmu berhantu? Yang benar saja, kalau rumahmu berhantu, berarti rumahku juga. Aku tidak melihat hantu apapun di rumah," herannya.

"Kalau dia bisa dilihat semua orang, dia bukan hantu," jawab Lisa. "Pulang saja, aku mau tinggal di sini, ada beberapa pasien yang aku khawatirkan juga. Aku lebih berguna di sini daripada pulang ke rumah," katanya.

"Ya! Jiyong saja pergi berkencan hari ini, dia buru-buru keluar dari rumah sakit tadi sore, kau melihatnya kan? Kau tidak mau berkencan juga? Kapan kau bisa berkencan kalau setiap hari di rumah sakit? Staff lain juga tidak akan nyaman melihatmu terus di sini," komentar Seunghyun, merasa apartemennya jadi terlalu sepi kalau tidak ada Lisa di unit sebelah. Tidak ada suara Lisa yang mengumpat karena jatuh, karena tersandung, atau suara tawanya saat menonton acara TV. Apartemen itu terlalu tua, tidak pernah di renovasi, jadi suara-suaranya tidak teredam dengan baik.

"Tidak, aku tidak bisa tidur di rumah," tolak Lisa, tetap bersikeras untuk tinggal.

"Aku telepon Jiyong agar dia mau mengantarmu pulang?"

"Kau mau mati? Sana pergi," usirnya kemudian, enggan mendengar bujuk rayu pria itu lagi.

Ia enggan pulang ke rumahnya, lalu melihat Jiyong disetiap sudut rumah itu. Mengingatnya, merindukannya tapi merasa tidak bisa menghubunginya. Terlalu malu untuk menelepon, lalu mengaku merindukannya. Menunggu pria itu yang melakukannya lebih dulu rasanya juga terlalu mustahil— menurutnya, Jiyong tidak terlihat merindukannya. Jiyong tidak kelihatan menginginkannya. Apa aku harus membuatnya cemburu lagi? Hanya untuk membuatnya melihatku lagi?— Lisa sempat terpikir untuk melakukannya, tapi pikiran itu justru membuatnya merasa menyedihkan. Membuatnya sekali lagi menyesali keputusannya kembali ke Sunset Glow.

***

friendly fireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang