5 - Percikan Pertama

604 94 18
                                    

"Awalnya, banyak orang tidak menyangka hal ini, bahwa percikan-percikan kecil yang datang beruntut kelak pasti akan menimbulkan kerusakan lebih parah dibandingkan ledakan besar yang datang sekali. Karena yang dirusak hampir tak kasat mata, sampai-sampai cukup ketara untuk diperbaiki lebih dini. "

Senandung Semu

5. Percikan Pertama

Suara tamparan yang amat keras itu menggema di dalam ruangan, meninggalkan sisa gema yang membutuhkan waktu lama untuk berhenti terdengar. 

Theo yang telah tersungkur dengan bibir berdarah, kembali bangkit. Mengumpulkan semua kekuatannya yang tersisa untuk kembali berdiri tegak, mengangkat dagu tinggi-tinggi memberikan gestur tegap dan hormat kepada Letnan Jenderalnya. 

Sudah terhitung tujuh kali Theo menerima pukulan kencang dari panglima besar komando militer pasukan tempur angkatan darat itu, hingga-hingga ia yakin bahwa telapak tangan Letnan Bharata juga telah sama kebasnya dengan pipi Theo yang merah keunguan.

Kabar tentang insiden kecelakaan Harum Cendani siang tadi, tampaknya telah menyebar dengan cepat di kalangan mereka. Tidak hanya tim medis militer, beberapa kerabat dekat Sang Bharata juga telah datang untuk memastikan kondisi menantu pertama Jatikusumo itu secara langsung. Suasana cemas dan tegang tampak begitu kental di dalam ruangan mereka saat ini.   

"Kamu pikir tugas ini main-main huh? " Bariton rendah milik Sang Bharata terdengar, dengan intonasi yang begitu jelas dan lugas. Seolah-olah sedang mencemooh sosok yang telah ia hajar sejak lima menit lalu di depannya itu. 

Bharata mengikis jaraknya dengan Theo, menarik kerah seragam hitam milik ajudannya itu kuat-kuat dengan tangan yang gemetar menahan amarah. Rahang tegas itu terkatup rapat, menatap tajam ke arah Theo yang tetap pada posisi siapnya. 

"Siap Letnan, Saya bersalah! Nyonya-" 

Belum sempat Theo menjelaskan, Bharata telah membanting tubuhnya begitu keras di atas lantai marmer yang dingin. Theo bahkan tidak sempat meringis kala atasannya itu kembali menarik paksa tubuhnya untuk bangkit berdiri, bersiap untuk kembali dihajar. 

Sebelum lengan besar itu berayun di udara, Sang Ardja bergegas menginterupsi kakak sepupunya yang sedang kesetanan itu. Bergegas membentengi tubuh ajudan Theo yang telah terkapar di belakangnya. 

"Letnan," Ardja menengahi. Pria itu melirik Sang Utara, sepupu kelimanya untuk ikut mendekat, menenangkan Bharata yang tampak sangat berantakan. 

"Mas, Sampeyan ndak biasanya kaya gini. Tenang Mas." Utara bersua. 

Bharata menyugar rambutnya kasar, mengambil nafas dalam-dalam untuk sedikit menenangkan diri. Perasaan amarah itu masih berkecamuk di dalam dirinya, kala mengingat bagaimana kondisi Harum tadi yang pingsan dengan luka baret di pelipisnya menganga cukup lebar. 

Dan ketika ia menyadari benar bahwa Theo merupakan salah satu penyebab insiden itu terjadi, Bharata sudah tidak bisa berpikir lebih jernih lagi. 

Bharata selalu pandai menahan emosi. Selama belasan tahun berkarir dalam dunia militer ia jarang mengangkat tangannya sendiri untuk mendisiplinkan anak buah mereka. Namun melihat kondisi Theo yang telah babak belur saat ini, agaknya berhasil membuat Bharata merenungi sesuatu.

Bahwa hanya karena sosok perempuan, ia bisa kehilangan kendali. 

Hanya karena Harum Cendani, Bharata bisa menggoyahkan etik kerjanya sendiri. 

Senandung SemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang