Kedai Kopi

96 8 0
                                    


Kopi pahit dan udara pagi menyambut Rasha di kedai favoritnya. Setiap kali datang ke sini, ada rutinitas yang selalu sama—memesan kopi hitam tanpa gula, duduk di pojok, dan menikmati ketenangan sebelum tenggelam dalam pekerjaan yang menumpuk. Meski usianya baru 22, tanggung jawab besar sudah di pundaknya. Sebagai satu-satunya pewaris dari keluarga kaya yang terpandang, dia diharapkan untuk terus menjaga reputasi dan kelanjutan perusahaan ayahnya.

Namun pagi itu, ada sesuatu yang berbeda. Seorang pelayan baru terlihat sibuk membersihkan meja di dekat pintu masuk. Rasha melirik sekilas, kemudian kembali fokus pada layar laptopnya, berusaha menyelesaikan laporan yang harus diserahkan ke ayahnya nanti siang.

"Kak, kopinya sudah siap," suara lembut terdengar di depannya.

Rasha mendongak. Pelayan tadi sudah berdiri di sana, membawa nampan berisi cangkir kopi hitam. Senyumnya tipis, namun ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuat Rasha sejenak terpaku.

"Terima kasih," Rasha menjawab sambil mengalihkan pandangannya kembali ke laptop, berusaha tidak terlalu memperhatikan.

Namun, tak mudah mengabaikan sosok itu. Setiap gerakan yang dilakukan Lulu—ya, namanya tertulis di tag nama yang tergantung di seragamnya—terasa mengusik perhatiannya. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu, meski dia tampak biasa saja. Wajahnya manis, tapi matanya menyimpan kesedihan yang tak mudah ditebak.

"Sering ke sini?" tanya Lulu tiba-tiba ketika sedang membersihkan meja di dekatnya.

Rasha tersentak, tidak menyangka akan diajak bicara. "Iya, hampir setiap hari," jawabnya singkat.

"Kedai ini memang tempat yang enak buat ngopi," Lulu tersenyum, matanya sedikit berkilat, seperti ada sedikit rasa bangga terhadap tempat dia bekerja. "Saya juga suka kerja di sini. Pelanggannya ramah-ramah."

Rasha mengangguk sambil tersenyum tipis. Ia bukan tipe yang suka basa-basi, tapi ada sesuatu dari Lulu yang membuatnya tidak merasa risih dengan obrolan ini.

"Kamu baru kerja di sini?" tanya Rasha akhirnya.

"Iya, baru beberapa bulan. Tapi udah betah, kok." Lulu menyeka meja dengan lap, tangannya cekatan. "Kamu?"

"Apa?" Rasha sedikit bingung.

"Kamu kerja di mana?"

"Oh, di perusahaan keluarga," jawab Rasha singkat, tidak ingin membahas terlalu dalam. Sudah biasa orang lain menganggap dia hanya dapat keberuntungan dari nama keluarganya, padahal dia sendiri merasa beban itu kadang terlalu berat.

Lulu mengangguk. Dia tidak tampak tertarik untuk mengorek lebih jauh, dan Rasha merasa lega.

Hari itu, meski tidak banyak yang mereka bicarakan, obrolan singkat dengan Lulu terasa menyenangkan bagi Rasha. Sejak pertemuan pertama itu, dia mulai memperhatikan setiap kali Lulu muncul di kedai. Gadis itu selalu terlihat sibuk, tapi ada kesan ringan dalam langkahnya yang membuat suasana terasa lebih hidup.

Cinta Tak SampaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang