Episode 1

134 22 2
                                    

RAYAN POINT OF VIEW

Namaku Rayan Setiawan, biasa dipanggil Rayan. Aku kelas 12, tepatnya kelas 12-F2. Aku sekolah di SMAN 4 Kusuma Bangsa, nggak jauh dari rumahku. Biasanya aku naik angkutan umum, terkadang juga dianterin Ayah kalau lagi senggang. Aku hidup berkecukupan, bukan yang kaya ataupun kurang mampu. Kedua orang tuaku hanyalah pedagang nasi uduk. Setiap hari berjualan nggak jauh dari rumahku. Ayahku juga sering kerja serabutan entah apapun yang ada.

Ayah dan Ibuku juga sudah tau kalau aku punya orientasi yang berbeda. Aku menyukai laki-laki dan itu bukan lagi rahasia buat aku. Walaupun aku tau menjadi seperti ini yang paling utama adalah tentang fisik. Aku tidaklah sebagus orang lain apalagi dibilang standar, mungkin jauh berbeda, bisa saja aku di bawah standar.

Belakang ini aku juga menjadi bahan perbincangan anak-anak sekolah. Semenjak waktu itu dan bahkan sampai sekarang selalu menjadi bahan omongan. Bagaimana tidak jadi bahan omongan kalau aku yang biasa aja punya tiga cowok. Iya, bener tiga cowok sekaligus. Padahal sebelumnya satu aja aku nggak dapet-dapet. Sekali mancing malah dapet ganda.

Nama cowokku itu Thoriq, Rizal, dan Avreen. Tiga cowok ternama yang bisa-bisanya milih aku ketimbang cowok lain atau cewek lain. Aku pernah tanya ke mereka, jawabanya sama. Aku orangnya baik. Udah gitu aja padahal baik itu kan luas artinya. Aku nggak tau kenapa sama mereka.

Aku juga bisa membagi perasaanku buat mereka, mungkin karena aku yang bisa berbagi ngebuat semua berjalan lancar walaupun terkadang enggak. Seperti sekarang ini, mereka bertiga sedang masuk ke dalam kelasku, ngobrol bertiga kalau enggak ya sama kenalan anak kelasku. Mereka duduk mengelilingi aku. Sampingku Rizal, depanku Thoriq, dan sampingku Avreen.

"Riq, bajunya dimasukin. Tadi ada guru lewat loh." Ujarku ke Thoriq yang dengan percaya diri mengeluarkan baju osisnya.

"Masukin sini" balasnya.

"Masukin aja sendiri." Aku memutar kedua bola mataku, Thoriq ketawa lihat aku ngebalasnya seperti itu.

"Yaudah sini gue masukin." Sumpah sih kalau ngomong sama Thoriq tuh harus jelas sejelasnya.

Aku melotot ke Thoriq, beberapa anak kelas sampai ngelihatin aku. "Jangan keras-keras ngomongnya." Kataku.

"Pindah kelas gue aja." Sambung Rizal.

"Matamu!" lanjut Thoriq.

"Cocoknya gue yang jaga." Lanjut Avreen.

Denger mereka ngomong tuh emang paling sebel. Pasti ribut dan nggak ada ujungnya. Makanya aku kadang ngerasa capek sendiri kalau sama mereka.

"Anjir!" tiba-tiba aja Avreen ngumpat sendiri. Dia segera nutupin bagian bawah leherku.

Rizal dan Thoriq langsung melihat kebagian yang ditutupi Avreen. "Apaan njing?" tanya Thoriq.

"Apasih?" aku mengambil cermin milik temen sebangku. Kulihat bagian yang tadi ditutup sama Avreen.

Mendadak aku melotot melihat tanda merah disana, sejak kapan dan kenapa aku baru sadar kalau ada tanda itu. "Siapa yang buat?"

Rizal, Thoriq, dan Avreen saling nunjuk sampai nggak ada yang ngaku. "Lo pasti yang buat." Kata Rizal ke Thoriq.

"Gue gigit punggung doang ya. Lo pasti ya Vreen?" tuduh Thoriq ke Avrin.

"Hehe iya." Avreen cengengesan ngerasa nggak bersalah. "Ya sorry, habisnya enak makanya gue gigit."

Aku mencoba keluar dari kursiku menuju kamar mandi, sampai sana gue langsung buka baju dan beneran dadaku banyak tanda merah.

'Tok Tok'

"Yan, lo nggak apa-apa? Sorry kalau gue keterlaluan."

Suara Avreen kedengeran sampai dalam, aku menutup bajuku lagi dan membuka pintu kamar mandi. Aku berhadapan sama Avreen, dia menatapku seperti merasa kasihan.

"Enggak, udah nggak apa-apa. Bisa aku tutupin kok." Balasku.

"Beneran? Kalau nggak nyaman bilang ke gue ya. Kalau ada yang ngomongin lo juga bilang ke gue." Ujar Avreen.

"Iya Vreen, udah ah masuk kelas. Tuh udah bel." Suruhku.

"Cium dulu." Avreen mempersiapkan pipinya buat aku cium. Aku sempat lihat sekitarnya dulu sampai terlihat aman barulah aku cium pipiny Avreen.

Satu ciuman mampu membuat Avreen tersenyum lebar, dia malah menciumku lebih banyak. "Gemesin banget sih." Ujarnya.

Padahal dia yang lebih gemes, akumah nggak ada apa-apanya.

Setelah masuk kelas, aku kembali pelajaran seperti biasa sampai jam pulang datang. Aku bergegas buat pulang. Lagi mau keluar, Thoriq udah duduk di depan sambil mainin kunci motornya.

"Udah?" tanya Thoriq yang melihatku baru keluar.

"Udah." Balasku.

Aku dan Thoriq akhirnya jalan menuju parkiran. Hari ini aku diantar Thoriq, setiap hari bisa beda-beda menyesuaikan jadwal mereka. Bukan aku manfaatin mereka tapi mereka yang maksa aku.

"Kak Thoriq!" aku dan Thoriq sama-sama ngelihat ke sumber suara, disana ada anak cowok kelas 11 datang menghampiri Thoriq.

"Kak Thoriq buru-buru pulang ya? Aku mau ngasih ini." Ujar cowok di depanku, dia setinggi aku dengan kulit mulusnya dan wajah yang di imut-imutkan.

"Ini apa?" tanya Thoriq.

"Hadiah buat kak Thoriq, kemarin kan aku habis dari Singapura terus sengaja beli sepatu buat kak Thoriq." Thoriq sempat ngelirik ke aku tapi aku nganggukin kepala aja.

"Makasih ya." Jawab Thoriq.

"Sama-sama, jangan lupa dipakai ya kak. Oh iya aku hari ini nggak ada yang jemput pulang." Cowok barusan kini memperlihatkan wajah sedihnya di depanku.

Aku beneran menghela napas walaupun aku pelanin dikit. Thoriq juga bingung mau gimana, dia garuk-garuk tengkuk lehernya.

"Sama Thoriq aja pulangnya." Kataku membuat Thoriq sama cowok di depanya ngelihatin aku.

"Emang kak Thoriq nggak keberatan?" tanya dia ke Thoriq lagi.

Thoriq menghela napasnya, dia sekarang seperti raut wajah yang serius. "Oh iya aku lupa ada kegiatan. Aku pamit dulu ya." Aku pura-pura beralasan buat menghindar dari mereka.

Aku tau nggak seharusnya aku kayak gini tapi aku nggak bisa ngehalangi orang lain buat deket sama Thoriq. Banyak omongan yang aku dengar, aku nggak mau memperbanyak hal itu.

Aku jalan keluar sekolah, baru sampai depan aku ketemu sama Rizal yang baru mau ke lapangan futsal. Rizal berhenti, membuat teman-temanya jalan duluan.

"Mana Thoriq?" tanya Rizal.

"Itu di parkiran." Ujarku.

"Kenapa lo nggak ikut ke sana?" tanya Rizal makin ngebuat aku tersudut.

"Eee.. aku ada kegiatan kayaknya nggak bareng Thoriq."

Rizal sedikit menyipitkan matanya, diantara mereka bertiga aku paling takut sama Rizal, dia yang paling bakal ngekhawatirkan aku.

"Asem tuh bocah." Umpat Rizal sambil lihat Thoriq yang lagi ngasih helm ke cowok tadi.

"Udah nggak apa-apa. Thoriq juga ada urusan kok." Aku mencoba menengkan Rizal, dia makin emosi kalau nggak aku kontrol.

"Harusnya tuh bocah sadar kalau udah punya lo." Kata Rizal. "Gue anterin pulang."

Rizal menarik tanganku ke parkiran, waktu aku sama Rizal jalan ke parkiran. Thoriq keluar mengendarai motornya. Dia ngelihatin aku sama Rizal, aku tau kalau Thoriq ngerasa nggak nyaman tapi aku juga nggak bisa berbuat lebih.

---

Sang RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang