2. Kesalahan Besar

526 97 7
                                    

Part 2 Kesalahan Besar

“Bagaimana kita menikah?” Leta memberanikan diri untuk bertanya. Mengamati raut pria di sampingnya dengan hati-hati. Setelah dokter memeriksanya dan menemukan dirinya adalah seorang istri sekaligus ibu bagi bayi yang lahir satu minggu yang lalu. Tentu saja ada ribuan tanya yang memenuhi kepalanya. Bercampur aduk dengan ingatannya yang tertutup kabut.

Seberapa pun kerasnya ia berusaha menggali ingatan terakhirnya sebelum berbaring di temoat ini, hanya sakit kepala yang ia dapatkan. Semakin ia berusaha, sakit kepala itu semakin menusuk hingga terasa tak tertahankan dan ia berhenti berusaha.

“Kita akan membicarakannya setelah keadaanmu lebih baik.” Kei menarik selimut Leta hingga ke dada dan duduk di kursi di sampingnya.

Tubuh Leta menegang. Berusaha tak berjengit ketika Kei menyentuh tangannya, dan saat itu pula ia menyadari cincin yang melingkar di jari manisnya. “Ini cincin pernikahan kita?”

Kei mengangguk dan menunjukkan cincinnya sendiri.

“Aku tak melihat Ken.”

Kei membeku, tetapi menekan kedongkolannya dan menampilkan ketenangan dengan sangat baik. “Kau tak akan melihatnya.”

“K-kenapa?”

“Dia sedang di luar negeri.”

Leta tersentak.

Kei mendekatkan wajahnya. “Kenapa hanya Ken yang kau ingat? Kau bahkan tak bertanya di mana anakmu.”

Leta menelan ludahnya. “Ada terlalu banyak hal yang memenuhi kepalaku. Jadi semuanya masih terlalu membingungkan dan …”

“Dan Ken rupanya menjadi prioritas utama yang bisa diingat oleh kepalamu?” dengus Kei menegakkan kembali punggungnya dengan ketakutan yang mulai merebak di wajah sang istri. “Ya, kalian memang tak bisa dipisahkan.”

Leta terdiam, menundukkan pandangannya. Menatap perutnya yang rata. Ada perasaan asing yang mendadak muncul. Kehangatan dan keterikatan yang baru, tetapi a juga merasakan perasaan familiar. Ya, ia sudah mengandung anaknya selama sembilan bulan, kan? Bagaimana mungkin tak ada ikatan batin antara ibu dan anak itu.

“Di mana di … anak …”

“Anak kita. Akhirnya kau ingat kalau sudah punya anak.”

Leta menggigit bibir bagian dalamnya.

“Sebentar lagi perawat akan membawanya kemari.”

Leta terdiam sejenak. “Apakah dia laki-laki?”

“Ya, seperti yang kau harapkan.”

“A-aku ingin anak laki-laki?”

Kei mengedikkan bahu. Menatap lekat wajah Leta. “Sangat mirip denganku. Bukan Ken.”

Leta lagi-lagi dibuat menelan ludah dengan kalimat akhir sebagai sindiran tersebut. Kecelakaan apa yang dialaminya, ia sendiri masih tak mendapatkan penjelasan yang lebih detail. Sehingga ia melupakan pernikahan dan kehamilannya.

Bagaimana ia bisa menikah dengan Kei?

Apakah ia bahagia dengan pernikahan tersebut?

Dan … ia menginginkan anak laki-laki?

Bukankah itu artinya dia mengharapkan anak tersebut?

Ya, tentu saja ia harus mengharapkan anak tersebut. Bagaimana mungkin seorang ibu tak mengharapkan anak dalam kandungannya sendiri?

“K-kenapa kakak berkata seperti itu?”

Kei mendengus. “Panggil saja Kei seperti biasanya. Kau memanggilku kakak ketika masih menganggapku sebagai kakak Ken. Sekarang aku suamimu. Bukan Ken.”

Leta merasa tertohok dengan ujung kalimat yang lagi-lagi ditekankan sebagai sindiran tersebut. Hanya perasaannya saja atau memang Kei tak suka Ken. Tapi, bukankah mereka kakak beradik? Mungkin saja mereka sedang bertengkar. 

“Dan aku tak terlalu peduli meski ingatanmu hilang. Mengikuti keinginanmu jelas tak akan lebih mudah bagimu untuk menerima kenyataan.” Kei diam sejenak. “Apa pun yang kau masih kau ingat, semua bukanlah kehidupanmu saat ini. Jika kau tidak menyukaiku, kau tak punya pilihan untuk menerimaku sebagai suamimu.”

Leta semakin tak mengerti dengan kata-kata dingin tersebut. Seolah ada kemarahan yang berusaha Kei pendam. Tatapan tajam pria itu juga berhasil membuat napasnya tertahan. Mengunci pandangannya dan ketakutan mulai merambati dadanya.

Dan suara ketukan pintu memecah ketegangan di antara keduanya. Kei melepaskan pandangannya dan berbalik. Menghampiri perawat yang membawa putra mereka.

Leta kembali bernapas. Jantungnya berdegup kencang dan berusaha menormalkannya. Ketika wajah mungil itu membuatnya lupa segalanya. Ia terpaku dan seolah dadanya dipenuhi oleh sesak yang menghangatkan. Melengkapi dirinya dengan cara yang begitu menyenangkan.

Apakah itu putranya? Bayi yang sudah ia kandung selama sembilan bulan? Ah delapan. Seharusnya ia melahirkan bulan depan dan karena kecelakaan yang menimpanya, bayi itu harus lahir lebih awal. Namun semuanya baik-baik saja. Bayinya lahir dengan sehat dan tak kurang suatu apa pun. Juga terlihat tampan.

Tanpa sadar, senyum terukir di bibirnya. Tangannya terulur dan membawa bayi itu ke dalam pelukannya dan segera mendapatkan posisi yang nyaman. 

Ujung bibir Kei tertarik ke atas ketika mengamati interaksi yang segera mengikat di antara Leta dan putranya. Mamanya benar, ikatan batin antara ibu dan anak tidak bisa berbohong. Mungkin ada baiknya ingatan Leta memang tak pernah kembali. Sehingga wanita itu tak perlu mengingat kejadian itu. Yang membuat Leta berpikir untuk meninggalkannya.

Kali ia tak akan membiarkan siapa pun ikut campur urusan rumah tanggannya. Termasuk Ken, Rosaline, maupun Rayyan. Ia hanya butuh Leta dan putranya. Tak peduli jika sekarang Leta sudah tak menginginkannya. Tak menginginkan pernikahan mereka dan membencinya.

*** 

“Ace?”

“Xavier Ace Ganuo.” Kei mengulang nama panjang yang diberikan untuk sang putra. “Tak masalah kalau kau tak menyukainya. Aku akan tetap memberinya nama itu.”

Leta terdiam. Beberapa kali kata-kata Kei yang seolah tak peduli dengan pendapatnya diulang dan ia berusaha untuk tak tersinggung, tetap saja wanita itu selalu berhasil dibuat terkejut. “Apa kau memang tak pernah peduli dengan pendapatku?”

“Aku peduli. Pernah selalu peduli. Kau pikir bagaimana pernikahan kita bertahan selama tiga tahun ini?”

“T-tiga tahun?”

“Ya, tiga tahun. Dan anehnya, tak ada satu pun ingatanmu ada di sana. Terlihat seperti pernikahan kita hanya memberimu penderitaan sehingga kau tak butuh mengingatnya.”

“Kau pikir ini atas kehendakku?”

“Aku tak yakin.”

Leta merasakan kemarahan yang muncul di dadanya, tetapi ketika tersadar ada baby Ace dalam pangkuannya. Wanita itu segera menenangkan diri. Sebenarnya hubungan macam apa yang ada dalam pernikahan mereka? Kenapa Kei terlihat begitu menyimpan kemarahan yang besar terhadapnya? Apakah pria itu membencinya? Dan apa yang membuat pria itu membencinya? Kenapa mereka menikah jika pria itu membencinya?

Leta tak tahan dengan tumpukan pertanyaan yang memenuhi benaknya. Berjumbal-jumbal hingga ia merasa ingin muntah. 

“Berikan padaku.” Kei mendekat dan mengambil baby Ace dari gendongan Leta. Sejenak menenangkan bayi yang sempat merengek tersebut dan meletakkannya di boks bayi.

“Sebelum kecelakaan, apa kita sedang bertengkar?” Leta memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan tersebut. “Apa aku melakukan kesalahan besar yang membuatmu begitu marah padaku?”

Ever LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang