Bab 14

762 218 14
                                    

Kalau ditanya apakah Mika sangan membenci Nola? Tentu saja, besar sekali kebencian yang dirasakannya untuk Nola. Keluarganya morat marit, ketenangannya direnggut, dan yang lebih menjengkelkan selalu dimusuhi di mana pun berada. Di rumah, sekolah, dan di kampus. Mereka selalu bertemu dalam situasi yang sama dan itu sangat menjengkelkan Mika. Nola memang cantik tapi mulutnya selalu bicara hal buruk, jarang sekali bertutur kata manis terutama padanya. Setiap pertemuan selalu berakhir dengan makian dan hinaan.

Seperti sekarang, Nola menertawakannya. Mika tidak masalah kalau lagi sendiri. Dengan adanya Alika di sampingnya, hinaan ini bukan hal bagus untuk didengar anak kecil.

"Kakak, kenapa mereka katawa?" tanya Alika dengan polos. Terik matahari membuat rambutnya basah.

"Mereka bukan ngetawain kamu, Sayang. Mereka ngetawain diri sendiri."

"Diri sendiri kenapa?"

"Nggak tahu, jijik mungkin."

Tawa mereka seketikan berhenti. Nola mengibaskan rambut ke belakang sambil mencibir.

"Jadi pembantu di rumah orang aja belagu. Ckckck, Mika. Harusny lo ngaca!"

Mika mengangkat bahu. "Gue nggak paham apa maksud kalian pakai ngata-ngatain gue. Tapi terserah kalian saja."

"Heh, mau kemana lo?" teriak Nola saat Mika bergerak menuju mobil. "Gue belum selesai ngomong sama lo!"

Tidak peduli dengan teriakan saudara tirinya, Mika membuka pintu dan mendudukan Alika di jok belakang.

"Tunggu di dalam, ya? Di luar panas."

"Iya, Kakak."

Setelah menutup pintu, Mika membalikkan tubuh dan bersedekap menghadap Nola dan teman-temannya. Berhadapan dengan Nola, lebih banyak rasa jengkel dari pada malu. Tidak peduli apa pun yang dikatakan mereka, tidak akan pernah menyakitinya lagi. Kecuali bila menyangkut sang ibu.

"Napa Nola? Iri karena gue naik mobil mewah?" ledek Mika.

Nola melotot kesal. "Buat apa gue iri? Mobil gue juga mewah."

"Ya sudah, kenapa heboh kalau gitu? Gue kerja jadi pembantu kek. Jadi baby sister kek, bukan urusan lo! Ada baiknya lo belajar buat nggak peduli juga urusan gue!"

"Cewek miskin, belagu!"

"Ya sudah, sih. Dah tahu gue miskin, masih aja lo sebut-sebut. Heran gue, mah!"

Nola melotot, teman-temannya mengepalkan tangan seolah siap untuk memukul. Mika tetap berdiri tenang, tidak terpengaruh dengan hinaan mereka. Pikirannya justru tertuju pada Haven. Laki-laki itu pasti sedang menunggu anaknya berkunjung. Kasihan Alika tertahan di sini.

Nola mendekat, menatap Mika dari atas ke bawah dengan kebencian menyala di matanya. Ingin sekali mencengkeram leher Mika dan menamparnya berkali-kali. Teringat kalau uang jajannya akan dikurangi bila sang papa masih membantu mamanya Mika. Ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi, sampai kapan pun juga.

"Lo tahu bukan kalau temen gue banyak? Lo kuliah sambil kerja, bawa anak itu ke kampus. Ingat, kalau lo macam-macam sama gue, bisa-bisa kebencian bukan tertuju ke elo tapi ke anak itu!"

Mika terbelalak, merasa kalau ancaman Nola sangat keji untuk didengar. Ia tidak menyangka kalau Nola akan menyasar Alika, anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dendam dan perseteruan antar mereka, tidak semestinya melibatkan Alika.

"Nola, busuk banget hati lo. Sampai-sampai ngancam anak kecil yang nggak berdosa. Gue ingetin lo, mau hina atau maki gue silakan. Gue dah kebal. Ingat, jangan sekali-kali lo sentuh Alika. Kalau nggak—"

Pesona Papa MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang