Bab 4

875 202 15
                                    

Fabiola memandang Haven dengan penuh pemujaan. Dari semenjak kakaknya meninggal, ia sudah jatuh cinta pada Haven. Laki-laki yang pernah menghiburnya di kala sedih, menjadi pelindungnya sekaligus seorang kakak. Fabiola pernah menjalin hubungan dengan banyak laki-laki tapi tidak satu pun yang mendekati Haven. Baik sikap, sifat, maupun ketampanan. Terlebih kekayaan yang seolah tidak terbatas. Laki-laki yang menjalin hubungan dengannya memang rata-rata tampan, tapi hanya sekedarnya saja. Tidak ada yang mampu membuatnya berdebar bahagia.

"Kaak, kenapa sinis begitu? Padahal niatku baik loh." Fabiola melangkah gemulai, mendekati Haven sambil menyandarkan pinggul ke meja. Duduk menghadap langsung pada Haven dengan harapan dadanya yang menyembul keluar bisa terlihat jelas. "Bagaimana kalau malam ini kita makan bersama? Kamu pasti butuh teman mengobrol."

Haven menaikkan sebelah lais lalu mengalihkan pandangan dari Fabiola ke jendela. "Bukannya kamu bilang kangen, Alika? Kenapa malah ingin mengajakku keluar makan?"

"Ah, Kak Haven nggak peka. Tentu saja kita makan malam bersama dulu, setelah itu aku ikut ke rumahmu untuk bertemu keponakanku yang lucu itu."

"Nggak bisa!" tolak Haven tegas. "Ada masalah di kantor dan aku harus kerja lembur."

"Masalah apa? Barangkali aku bisa bantu." Fabiola bangkit, mendekati Haven untuk berdiri di sampingnya. Dengan sengaja menyenggol lengan Haven. Ingin melihat bagaimana reaksi laki-laki itu. Ia yakin kalau mantan kakak iparnya pasti menahan gairah. Bagaimana tidak, selama empat tahun hidup tanpa belaian istri. Ia yakin kalau diberi kesempatan, akan membuat Haven takluk. "Bayangkan, Kak. Kita makan malam di tempat romantis, minum anggur dengan musik lembut. Saat itu Kakak bisa cerita apa saja ke aku. Mungkin aku nggak akan bisa ngasih solusi tapi seenggaknya, aku bisa jadi pendengar yang baik. Gimana?"

Dengan berani Fabiola melingkarkan lengannya di lengan Haven. Tersenyum menggoda sambil mengedipkan sebelah mata. Haven menghela napas panjang, memaki Adiar karena belum muncul juga untuk mengusir Fabiola. Ia melepaskan cengkeraman Fabiola di lengannya dan bergerak untuk mengambil rokok dan menyalannya. Sengaja membuka sedikit kaca jendela dengan begitu Fabiola tidak akan mengikutinya. Rata-rata perempuan tidak suka dengan asap rokok.

"Sudah aku bilang nggak bisa. Rapat berakhir sampai jam berapa saja aku nggak tahu."

Fabiola mencebik, berpura-pura marah. "Gimana kalau besok? Masa nggak bisa juga?"

Haven menggeleng. "Nggak tahu, aku sibuk sekali."

"Kaaak! Masa nolak terus, sih?"

Pintu diketuk dari luar, Adiar menerjang masuk dan bicara dengan gugup. "Pak, baru saja staf Bank Indonesia menelepon. Beliau minta Anda menelepon balik sekarang."

Haven mengernyit. "Terjadi sesuatu?"

"Iya, Pak, Darurat dan penting."

"Oke, aku akan meneleponnya sekarang. Adiar, kamu antar Fabiola pergi."

Adiar mengangguk, hendak menghampiri Fabiola tapi perempuan itu membentak keras. "Nggak usah pakai diantar-antar, aku tahu jalan keluar. Selalu saja kamu mengangguku kalau lagi bicara penting ke Kak Haven. Sekretaris nggak guna!"

Adiar tercengang, menjadi sasaran kemarahan untuk hal yang tidak pernah dilakukannya. Ia melirik Haven untuk meminta bantuan dan bossnya itu bersikap seakan tidak mengerti apa pun. Dengan pasrah Adiar mengangguk.

"Maaf."

"Nggak usah minta maaf atau sok merasa bersalah. Emang kamu nggak pernah suka sama aku!"

Fabiola melotot ke arah Adiar, bersikap garang seakan ingin menelan hidup-hidup. Adiar mencuri pandang pada Haven yang memberi tanda padanya untuk tetap diam.

Pesona Papa MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang