Hinata terbangun dengan napas terengah-engah. Ia tersengal-sengal mencoba mengambil udara, berusaha meredakan kekalutan yang menyelimuti pikirannya. Mimpi itu, mimpi yang begitu menyesakkan kembali datang. Mimpi tentang kejadian lima tahun lampau yang kembali menghantui tidurnya, seperti layaknya film yang ditayangkan terus menerus diulang tanpa henti.
Hinata menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Jam masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Potongan-potongan memori memori masa lalu -nya terus menyusup ke dalam mimpinya—semua peristiwa yang sangat ingin ia hapus dari kehidupannya selamanya. Lima tahun sudah berlalu sejak ia meninggalkan Jepang dan memulai hidup baru di California, Amerika Serikat. Betapa terpuruknya dia saat itu, dikucilkan oleh keluarganya sendiri demi anak tiri kesayangan mereka dan mantan kekasihnya, yang ternyata lebih memilih wanita itu—Sakura.
Lima tahun sudah Hinata berada di sini. Ia bahkan diterima di Stanford University sebelum lulus SMA, berkat koneksi yang ia bangun melalui beberapa konferensi sastra yang ia ikuti saat masih bersekolah. Hinata berbakat dalam sastra, dan para profesor melihat potensinya. Mereka menawarinya kesempatan kuliah di California meskipun saat itu ia masih duduk di kelas 11. Siapa sangka, tawaran tersebut justru menjadi jalan baginya untuk meninggalkan semua orang di Jepang—memutuskan semua hubungan yang hanya mendatangkan luka, baik fisik maupun mental.
Tanpa pamit kepada siapa pun—Sasuke, ayahnya, atau bahkan Kak Neji—Hinata pergi. Bagi Hinata, mereka tidak pernah benar-benar peduli padanya. Semua perhatian selalu tertuju pada Sakura, anak angkat keluarganya. Daripada terus terluka, Hinata memilih untuk mengakhiri semuanya, baik hubungan romantis maupun keluarga.
Hinata memejamkan kedua matanya, kali ini ingatan tentang percakapan terakhirnya dengan Sasuke melalui telepon saat itulah yang menghantui benaknya.
"Hin, please, listen to me–"
"Apa yang harus aku dengarkan!? Semuanya bohong! Setiap kata yang keluar dari mulutmu selama ini bohong, Sas!"
"Dengerin dulu, aku nggak bermaksud–"
"Tidak bermaksud? Jadi kamu memang berpikir aku ini cuma pengganggu, kan!?"
"Bukan begitu, Hin. Tolong dengarkan aku."
"Sudah lah, Sas. Aku sudah paham semuanya."
"Apa yang kamu paham?! Ya, aku memang pacaran sama Sakura, tapi kamu juga harus tau kalau aku cinta kamu, Hin!"
Hinata terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. "Cut the bullshit, Sas. There's no love between us, at least not from your side."
Sasuke terdiam, tak mampu menjawab.
"Kamu nggak bisa balas, kan? Just stop it. We're done. That's all."
"No! Kamu nggak bisa mutusin hubungan kita sepihak gini! Ini hubungan kita berdua, Hin!"
"Aku bisa, Sas. Hubungan tanpa cinta, tanpa kehangatan, untuk apa dipertahankan?"
"Aku cinta kamu~~, kenapa kamu nggak percaya?"
"Lalu Sakura? Apa yang membuat aku yakin kalau kamu benar-benar cinta sama aku, dan bukan sama dia? Kamu bahkan nggak punya jawaban, kan?"
"Aku cinta kamu, Hin. Seminggu kamu ninggalin aku, aku hancur. Aku nggak bisa berhenti mikirin kamu~."
"That's not the f****ng Question! The whole Time, All those time, you put Sakura on top of your priority, That's never been Me, i'm your girlfriend!"
"Kamu harus mengerti, Sakura itu–"
"Yeah! Aku harus selalu mengalah untuk Sakurakan? Semua orang begitu—ayah, Kak Neji, dan sekarang kamu. Aku ini apa? Hanya penjahat yang menganggu kebahagiaan Sakura di mata kalian? Sudahlah, seperti yang aku bilang, kita selesai. Itu yang kalian inginkan, kan? Kebahagiaan Sakura."
"I love her, yes. But I love you too, Hin. Please~ believe me."
"Love is a game for two, Sas. Saat ada orang ketiga, salah satu harus mundur. Kali ini, aku yang mundur. Jadi, selamat bahagia dengan cintamu."
Ia buka kembali kedua matanya yang begitu sembab, kendati demikian Hinata berhasil menenangkan pikirannya. Napasnya mulai teratur, dan tangan yang gemetar tadi kini berhenti bergetar. Ia menatap keluar jendela apartemennya di California, memandangi lampu-lampu kota yang masih berkilauan di tengah malam. Dengan menarik napas panjang, ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan menyibukkan dirinya pada pekerjaannya yang mungkin ada. Kini, Hinata hidup sebagai Content Writer untuk berbagai perusahaan, editor buku lepas, dan juga memiliki Event Organizer yang cukup ternama di California.
Hidupnya jauh lebih baik sekarang, tanpa mereka yang dulu selalu menyakitinya. Namun kenangan itu, meskipun sudah lima tahun berlalu, tetap menyisakan luka yang sesekali masih perih saat tersentuh.
Hinata berkutat dengan laptopnya, memeriksa email untuk melihat apakah ada pekerjaan yang belum disentuh. Namun, setelah menghabiskan waktu beberapa saat, ia mendapati semuanya nihil. Semua pekerjaan, baik dalam content writing maupun proyek buku, sudah diselesaikan. Kini, ia hanya menunggu balasan revisi dari para kliennya.
Tak ingin berdiam diri, Hinata mencari-cari kesibukan lain. Ia memutuskan untuk memeriksa beberapa rencana acara yang akan dihandle oleh Lavender & Lace Events, Event Organizer (EO) yang didirikannya tiga tahun lalu. Sejak awal berdiri, Hinata telah memiliki beberapa klien yang mengandalkannya. Awalnya, ia hanya menangani acara ulang tahun kecil-kecilan untuk keluarga para profesor dan teman-temannya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai merambah ke beberapa perusahaan startup. Kini, EO miliknya semakin dikenal, bahkan salah satu startup yang setia menggunakan jasanya tetap menggandengnya meski perusahaan tersebut telah mencapai status baru. Inilah alasan mengapa dalam setahun terakhir, EO-nya mulai melayani banyak acara perusahaan.
Hinata melihat script rangkaian acara dan beberapa desain yang telah didiskusikan, lalu mulai menulis masukan-masukan yang menurutnya perlu. Sebenarnya, Hinata sudah tidak begitu terlibat dalam aspek kreatif acara. Ia lebih fokus pada karirnya sebagai content writer dan editor, serta mengurus manajemen EO saja. Namun, di saat-saat seperti ini, ketika pikirannya dalam keadaan stres dan tidak ada pekerjaan content writing atau editing yang bisa dikerjakan, ia pun terpaksa mengerjakan aspek kreatif acara.
Banyak orang yang mengagumi efektivitas kerja Hinata. Namun, siapa yang tahu bahwa semua produktivitasnya datang karena masalah mental dan pikirannya yang tak kunjung tenang?
Hinata menghela napas panjang, merasakan beban yang seakan tak pernah hilang dari pundaknya. Sambil menyandarkan punggungnya di kursi, ia mencoba merilekskan otot-otot yang terasa kaku. Di luar jendela, cahaya matahari mulai menyinari kota, memberikan sedikit kehangatan. Namun, hati dan pikirannya terasa dingin dan kosong.
'Aku harus bisa melewati ini,' gumamnya, berusaha membangkitkan semangat yang tersisa. Hinata tahu bahwa ia harus terus bergerak maju, meskipun bayang-bayang masa lalu selalu menghantui langkahnya. Ia bertekad untuk tidak membiarkan kesedihan dan luka lama menghalanginya dari mencapai impian-impian yang telah ia bangun dengan susah payah.