1

128 21 3
                                    

Hinata masih terpaku di depan laptopnya, matanya hanya fokus pada layar yang dipenuhi dokumen kerja. Meski dini hari, fokusnya tak terpecah. Bekerja adalah satu-satunya cara untuk menenangkan pikirannya yang kacau. Tidur bukanlah pilihan, terutama setelah mimpi yang baru saja dialaminya—kenangan -kenangan pahit masa lalunya yang seolah kembali menghantui.

Ketika ia terkejut mendengar suara pintu kamar yang terbuka, jantungnya berdebar. "Mom~," terdengar suara kecil yang begitu familiar.

Kazuki, putranya yang berusia empat tahun, berdiri di depan pintu dengan piyama kartun kesukaannya. Di satu tangannya, ia memeluk erat boneka singa, sementara tangan lainnya mengucek matanya yang masih mengantuk. Hinata tersenyum lelah, mengabaikan sejenak laptopnya dan berjalan menghampiri pria kecilnya. Ia berjongkok, dengan lembut menjauhkan tangan mungil itu dari matanya.

"Jangan dikucek, sayang. Tidur lagi, ya?" ucap Hinata sambil memeluk Kazuki erat, menggendongnya kembali ke ranjang.

Kazuki mendongak, suaranya kecil namun penuh rasa penasaran. "Why are you awake, Mom?" tanyanya, sambil nyaman menyelipkan tubuhnya ke dalam selimut di samping ibunya. Boneka singa itu tetap erat dalam pelukannya.

Hinata mengusap rambut hitam tebal putranya, penuh kasih sayang. "Mom masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan, sweetheart. Tapi Kazuki tidur lagi, ya? Nanti pagi-pagi kita sarapan bareng."

Beberapa menit berlalu, dan akhirnya Kazuki kembali terlelap. Hinata memandang wajah damai putranya, sosok yang ia lahirkan empat tahun lalu. Anak kecil ini adalah satu-satunya hal paling berharga dalam hidupnya. Wajah polos dan napas lembutnya mengingatkan Hinata akan perjuangan yang telah ia lewati.

Ingatan itu kembali menghampirinya—saat pertama kali ia mengetahui bahwa dirinya hamil, hanya dua minggu setelah tiba di Amerika. Rasanya seperti dunia menghimpitnya dari segala arah. Pertanyaan tentang masa depan, tentang bagaimana ia akan mengurus anak di negeri asing tanpa keluarga, menghantuinya siang dan malam. Pada saat itu, godaan untuk melepaskan kandungan begitu besar. Konflik antara akal sehat dan naluri keibuannya membuatnya tersiksa setiap hari.

Namun, malaikat datang dalam wujud pasangan tetangga yang sangat baik hati, Asuma dan Kurenai. Mereka pasangan asal Jepang yang tinggal di seberang unit apartemennya. Asuma, seorang senior IT di perusahaan teknologi besar di California, dan Kurenai, associate professor di departemen linguistik Stanford, menjadi penyelamat bagi Hinata. Mereka tidak hanya menawarkan bantuan moral, tapi juga dukungan nyata. Kurenai bahkan membantu Hinata mempertahankan beasiswanya di Stanford. Salah satu kebimbangan Hinata saat memutuskan mempertahankan janin itu adalah sikap kampus pada peserta beasiswa seperti dirinya yang dalam keadaan mengandung. Tapi dengan bantuan Kurenai lah Hinata tetap dapat melakukan semuanya hingga saat ini.

Senyum kecil terbit di wajah Hinata saat ia mengingat kebaikan pasangan tersebut. Mereka tak hanya memberi Hinata kekuatan untuk melanjutkan kehamilannya, tapi juga memastikan bahwa ia mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Kini, berkat mereka, ia bisa melihat Kazuki tumbuh menjadi anak yang penuh kasih sayang dan cerdas.

Sambil memandangi wajah damai putranya yang masih terlelap, Hinata bersyukur karena keputusan yang diambilnya empat tahun lalu adalah yang terbaik.

"Kamu harta paling berharga yang Mommy miliki, sweetheart," bisik Hinata lembut sambil mengelus wajah kecil Kazuki. Tatapan penuh cinta dan sayang memenuhi hatinya, namun tak dapat ia pungkiri bahwa wajah Kazuki begitu mirip dengan pria dari masa lalunya, pria yang meninggalkan jejak mendalam dalam hidupnya.

Setelah beberapa saat memandangi wajah tenang putranya yang kembali terlelap, Hinata berdiri perlahan, memastikan Kazuki tetap nyaman di bawah selimutnya. Ia berjalan kembali menuju kursi kerjanya.

The New MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang