Hutan gunung Kaikoma selalu menjadi tempat khusus bagi mereka berempat. Bermain, berlatih, tertawa, dan berbagi cerita; hutan itu telah menjadi saksi dari banyak kenangan indah yang mereka ciptakan bersama-sama. Namun, hari itu adalah hari yang berbeda. Atmosfer yang biasanya ceria dan penuh tawa, hari itu digantikan dengan kesedihan yang mendalam.
Gojo, dengan raut wajah yang serius, berjalan mendekati Rei sambil diikuti oleh Megumi yang tampak lelah dan pucat. Megumi menghindari kontak mata dengan Rei, dan tanda-tanda kecemasan jelas terlihat di wajahnya.
Rei merasa ada yang tidak beres. "Kenapa kalian berdua tampak seperti ini? Dan Tsumiki? Kenapa dia tidak bersamamu?" tanya Rei dengan suara yang penuh kekhawatiran.
Megumi, dengan suara yang bergetar, menjawab, "Tsumiki... dia terkena kutukan. Sekarang dia tertidur dan tidak bisa bangun lagi."
Rei terkejut mendengar berita tersebut. Dia mendekat ke Megumi dan menepuk pundaknya dengan lembut. "Maaf mendengar itu, Megumi," kata Rei dengan suara rendah. "Tapi kamu harus kuat. Aku tahu betapa berharganya keluarga."
Gojo, meski tampak tenang, jelas terganggu oleh situasi tersebut. "Kami telah mencoba berbagai cara untuk membangunkannya, tapi belum ada yang berhasil," ujar Gojo dengan nada putus asa.
Megumi menatap ke tanah, "Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi."
Rei, berusaha menyemangati Megumi, berkata, "Setidaknya, kau masih bisa melihatnya dan menyentuhnya. Aku tidak pernah mendapat kesempatan itu dengan kakakku setelah dia meninggal. Setiap hari aku berharap bisa berbicara dengannya lagi, meski hanya satu kata. Jadi, jangan menyerah. Teruslah berjuang untuknya."
Megumi mengangguk perlahan, "Terima kasih, Akeno."
Dengan penuh dukungan dan semangat, mereka berusaha mencari cara untuk membebaskan Tsumiki dari kutukan yang menyelimutinya, berharap bahwa suatu hari nanti, dia akan bangun dan bergabung kembali dengan mereka di hutan gunung Kaikoma.
Di hutan yang teduh, Megumi dan Rei berdiri berhadapan. Setiap kali mereka latihan bersama, Megumi selalu terkesan dengan kecepatan, kekuatan, dan teknik yang dimiliki oleh Rei. Namun, yang paling menarik perhatian Megumi adalah bagaimana Rei bisa menaklukkan lawannya tanpa menggunakan energi kutukannya.
Setelah sesi latihan selesai, keduanya duduk di batu besar sambil menenangkan nafas mereka. Megumi, dengan rasa penasaran, memutuskan untuk bertanya. "Akeno, aku selalu bertanya-tanya, kenapa kau tidak pernah menggunakan energi kutukanmu saat bertarung?"
Rei memandang langit yang biru, seolah mencari jawaban yang tepat. "Kau tahu, Megumi, energi kutukan itu kuat, tapi juga mempengaruhi stamina kita. Jika kita terlalu bergantung padanya, kita bisa cepat lelah. Sementara itu, menggunakan fisik kita, berlatih dengan tekun, dan memahami teknik adalah kunci untuk bertarung dalam jangka panjang."
Megumi tampak merenung sejenak, kemudian dia berkata, "Aku ingin belajar darimu, Akeno. Aku ingin menjadi kuat seperti kamu, tanpa harus selalu mengandalkan energi kutukanku."
Rei tersenyum, "Tentu, tapi ingat, ini tidak akan mudah. Akan ada banyak latihan keras, keringat, dan mungkin juga air mata."
Megumi mengangguk dengan semangat. "Aku siap. Aku ingin menjadi lebih kuat, bukan hanya untuk diriku, tapi juga untuk Tsumiki."
Rei mengulurkan tangannya, "Baiklah, mulai besok kita akan memulai latihan intensif. Bersiaplah!"
Megumi menjabat tangan Rei dengan erat, menandakan komitmennya untuk memulai perjalanan barunya dalam melatih fisiknya dan mengurangi ketergantungannya pada energi kutukan.
.
.
.
maaf kalau ceritanya agak sedikit gak nyambung, soalnya agak kehilangan ide cerita... Hehehheheh
KAMU SEDANG MEMBACA
Shinden No Eihei No Kōkei-sha (Jujutsu Kaisen X OC)
FantasíaDalam bayangan gunung Kaikoma, ada kuil Yadai yang suci, yang pernah dikenal sebagai benteng penyihir terkuat dari klan Yuudai. Meski zaman telah meremehkan kuil dan klan ini, mereka tetap setia pada tugas mereka: menghancurkan kutukan. Rei Yuudai...