Di tengah keramaian sekolah menengah atas, di suatu pagi yang cerah, Greesel melangkah dengan percaya diri menuju kelasnya. Luaran tomboy-nya terlihat makin mencolok dengan seragam pria yang ia kenakan. Rambutnya yang digerai semakin memperkuat kesan cantik namun tangguh. Di tengah keramaian, banyak adik kelasnya yang berbisik dan mengagumi sosoknya, penyandang gelar siswa kelas unggulan, anggota paskibraka, dan anak kepala sekolah. Greesel sangat populer, dan itu membuatnya merasa istimewa.
Namun, di balik semua prestasi dan ketenaran itu, ada satu hal yang mengusik pikirannya: rasa cintanya pada Cynthia, kakak kelas yang selalu berdiri anggun di sudut koridor. Cynthia adalah sosok yang cantik, pintar, dan memiliki gaya yang sangat feminin. Ia merupakan kebalikan dari Greesel, dan hal itu justru membuat Greesel semakin tertarik. Namun, ada satu hal yang selalu menghalanginya; Cynthia menyukai pria.
Setiap kali melihat Cynthia tertawa bersama teman-teman prianya atau berbincang dengan senyuman manis di wajahnya, hati Greesel bergetar. Ia ingin sekali mengungkapkan perasaannya, tetapi selalu terbayang olok-olokny jika sahabatnya itu tahu betapa dalam perasaannya. Dalam lingkup persahabatan mereka, Greesel selalu berperan sebagai pelindung dan teman setia, sementara Cynthia menjadi pusat perhatian banyak lelaki di sekolah.Suatu sore, saat mereka pulang bersama dengan motor Greesel, Greesel beranikan diri untuk mengajak Cynthia berbicara tentang perasaan. "Cyn, ada yang ingin aku bicarakan," ujar Greesel, menarik napas dalam-dalam. Cynthia yang terlihat ceria mengangguk, memancing Greesel untuk melanjutkan.
"Nanti kalau kita sampai, ya," tegas Greesel ketika terlihat ragu. Dalam perjalanan, mereka banyak bercanda dan berbagi cerita. Greesel berusaha mengalihkan pikirannya dari perasaannya yang semakin membara, tetapi setiap senyuman Cynthia membuatnya semakin tergugah.
Sesampainya di rumah, Greesel duduk di pinggir tempat tidurnya, bertanya-tanya apa yang harus dilakukannya. Malam itu, ia memutuskan untuk menulis surat. Dalam suratnya, ia mencurahkan semua perasaan yang selama ini terpendam. Namun, saat akan mengirimkan surat tersebut, Greesel merasa keringat dingin mengalir di dahinya. "Kalau dia tidak menerima aku?" pikirnya.
Hari berikutnya, mereka kembali ke sekolah. Greesel diam-diam membawa surat itu dalam tasnya. Setiap kali mereka berpapasan, Greesel berusaha untuk bersikap normal meskipun hatinya berdetak kencang. Akhirnya, saat mereka duduk berdua di kantin, Greesel nekat mengeluarkan surat tersebut dan menyerahkannya kepada Cynthia.
"Cyn, ini untukmu," katanya, tergagap. Cynthia terlihat terkejut, namun ia menerima surat itu dengan rasa penasaran di wajahnya. "Apa ini, Cel?"Greesel hanya tersenyum canggung. "Baca saja."Setelah membaca, Cynthia terdiam. Greesel bisa melihat emosi bercampur aduk di wajah sahabatnya. "cel, aku... ini mengejutkan," ujar Cynthia, menatap mata Greesel dalam-dalam. "Kamu tahu kan, aku... suka laki-laki."
Hati Greesel hancur seketika, tetapi ia mencoba tersenyum. "Aku tahu. Hanya saja, aku tidak bisa menyimpan perasaan itu lebih lama lagi."
Cynthia menggenggam tangan Greesel, "Aku sangat menghargai keberanianmu. Kamu sahabat terbaikku, dan aku tidak ingin kehilangan itu."
Mendengar kalimat itu, Greesel merasakan kebanggaan yang campur aduk dengan rasa sakit. Meskipun cintanya tidak terbalas, ia sadar bahwa persahabatan mereka lebih berharga. Mereka berpelukan, dan saat itu Greesel berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap bersikap tulus, meskipun harus melawan rasa cintanya.***
Sejak insiden cinta yang cukup memukul hati Greesel dan Cynthia, Greesel mencoba untuk melanjutkan hidupnya, meskipun rasa sakit itu masih menghantui dirinya. Ia berusaha bersikap biasa di depan Cynthia, tetapi kedekatan mereka tidak lagi seperti dulu. Cynthia yang merasa ilfeel dengan sikap manis Greesel, yang kini semakin mencolok karena ia menyadari bahwa sahabatnya itu menyimpan perasaan lebih pada dirinya, Cynthia pun mulai menjauh. Dalam hatinya, Cynthia merasa bingung dan tidak nyaman. Ia tidak ingin terlibat dalam situasi yang membuatnya merasa tidak diinginkan atau bahkan berpotensi merusak persahabatan yang telah mereka bangun selama hampir tiga tahun.
Suatu sore, saat pulang sekolah, Cynthia duduk di dekat gerbang, menunggu jemputan. Matanya tiba-tiba tertuju pada siluet yang familiar. Itu Greesel, yang mengendarai motornya, dan di sampingnya berdiri Michelle, adik kelasnya yang ceria dan centil. Belakangan ini ia mengenal gadis itu karena dia tampaknya menyukai Greesel secara terang-terangan. Tanpa disengaja, perasaan cemburu menjalar di hati Cynthia saat melihat Greesel berhenti di depan gerbang. Dia memperhatikan dengan seksama saat Greesel mengeluarkan helm dan memakaikannya untuk Michelle, senyuman di wajah gadis tomboy itu tampak terlalu manis. Cynthia merasa hatinya berdesir, apalagi ketika ia melihat Michelle memeluk perut Greesel dan menyandarkan kepalanya di bahu sahabatnya.
"Seharusnya aku yang ada di sana," gumam Cynthia, merasa ada rasa sesak yang menghalangi napasnya. Melihat pemandangan itu, Cynthia merasa seolah ada yang berubah, dan ia tidak suka dengan perasaan itu. Sebelumnya, setiap perlakuan kecil dari Greesel selalu membuatnya merasa spesial, tetapi kini semuanya terasa berbeda dan rumit.
Di sisi lain, Greesel merasakan perubahan sikap Cynthia, yang seakan perlahan menjauhinya. Meskipun hatinya berusaha beradaptasi, ia tidak bisa menghindar dari perasaan bahwa ia telah salah menaruh harapan pada seseorang yang tidak mungkin memiliki perasaan yang sama. Akhirnya, Greesel memutuskan untuk memutar arah. Ia mencoba untuk melupakan perasaannya pada Cynthia.