"Semoga dia suka."Oline tersenyum menatap coklat yang ia beli sebelum sekolah tadi. Dengan sedikit membungkuk, Oline memasukkan coklat itu ke laci meja seseorang. Tubuh tinggi, mata ngantuk dan senyuman lembut, menjadi ciri khas Oline. Gadis itu selalu terlihat tenang meskipun hidupnya penuh masalah. Ayahnya adalah seorang pegawai negeri biasa, sedangkan ibu nya sudah lama meninggal. Kepergian ibunya, ia harus belajar menjalani kehidupan yang penuh kesulitan seorang diri. Namun, di balik semua kelemahan itu, ada satu hal yang membuatnya bersinar: cintanya yang tak terbalas kepada Erine.
Erine adalah primadona sekolah-cantik dan kaya, tetapi juga angkuh dan kejam. Bersama Adeline, ketua OSIS yang juga kaya dan berpengaruh, mereka menjadi pasangan kekasih yang disegani dan ditakuti banyak siswa. Oline tahu bahwa cinta yang ia rasakan untuk Erine adalah sebuah rahasia yang tak mungkin terungkap. Setiap kali Erine melintas, hati Oline berdegup kencang, meskipun rasa sayang tersebut sering kali dilukai oleh ejekan dan perundungan yang dilontarkan Erine dan gengnya.
***
Suatu hari, saat Oline sedang duduk sendirian di taman sekolah, ia mendengar Erine dan Adeline bertengkar. Adeline merasa cemburu pada perhatian yang diberikan Erine kepada Oline. "Kenapa kamu selalu memperhatikan gadis itu? Dia tidak ada apa-apanya!" geram Adeline. Namun, Oline hanya terdiam, hatinya bergetar mendengarnya. Di luar dugaan, Erine menatap Oline dengan mata yang berbeda. "Dia memang tidak ada apa-apanya, tapi...," katanya ragu. Oline merasakan harapan muncul, tetapi Erine segera menambahkan dengan nada sinis, "Tapi dia cocok menjadi bahan mainan."
Hati Oline hancur mendengar kata-kata itu, tetapi ia berusaha untuk tidak menunjukkan rasa sakitnya. Ia sering kali merelakan uang sakunya untuk membeli hadiah kecil, seperti cokelat atau buku catatan untuk Erine, berharap suatu saat perhatian Erine akan berubah.
Hari-hari berlalu, tetapi Oline tidak bisa menghindar dari perundungan. Suatu sore, saat pelajaran berakhir, Oline kembali diolok oleh Erine. "Kau tahu, tidak ada seorang pun di sekolah ini yang berani berteman denganmu. Siapa yang mau bergaul dengan gadis miskin yang tidak punya masa depan?" ucap Erine, mengingatkan Oline pada kondisi keluarganya yang sederhana.
Perkataan itu menyayat hati Oline. Air mata mulai menggenang di matanya, tetapi ia berusaha tegar. "Cukup, Erine. Aku tidak ingin berdebat," jawabnya lembut. Namun, semua kesabaran itu akhirnya rapuh ketika Erine terus melanjutkan. "Oh, lihat! Siapa yang tersakiti sekarang? Ayah mu tidak mengerti mendidik anak ya?"
Mendengar penghinaan tentang orang tuanya, ledakan kemarahan Oline tak terhindarkan. Ia mendorong Erine hingga punggungnya menyentuh dinding, kemudian Oline mencengkram kedua tangan Erine dengan kuat. "Kamu tidak punya hak untuk menghina orang tua ku! Mereka berjuang keras untuk memberiku kehidupan ini!" teriaknya, suaranya menggema di koridor sepi. Ia tidak terima siapa pun menghina orang tua nya, bahkan orang yang ia cintai sekalipun. Erine terkejut dan ketakutan. Ia tidak pernah melihat Oline seperti ini sebelumnya-berapi-api dan berani.
Oline akhirnya melepaskan tangan Erine dan pergi meninggalkan tempat itu, merasa hatinya lebih ringan setelah melepaskan semua beban. Ia tahu, saat ini yang terpenting adalah mencintai dirinya sendiri.
Setelah insiden itu, Adeline, yang menyaksikan perlakuan Erine, merasa harus mengambil tindakan. "Aku tidak bisa bersamamu jika kamu terus berperilaku seperti ini. Kita putus. Oline bukanlah musuhmu! " tegasnya kepada Erine sebelum pergi meninggalkan gadis itu . Perkataan Adeline membuat Erine tertegun dan menimbulkan keraguan dalam hatinya.
***
Di sekolah, suasana berubah. Oline mulai menjauh dari Erine, dan semua kebencian yang ia rasakan tampak jelas di wajahnya. Di sisi lain, Erine merasakan kehilangan mendalam. Ia mulai merenungkan semua tindakan yang menyakitkan dan menyadari bahwa selama ini, ia hanya ingin menarik perhatian Oline.