BAB 4

12 6 0
                                    

Hari demi hari telah Aldrin jalani. Cowok dengan penampilan yang semakin terurus itu hendak berangkat ke sekolah.

"Sudah genap seminggu Ayah belum pulang juga," batinnya pagi hari.

"Kasihan Bunda. Sebenarnya Ayah kemana? Urusan pekerjaan kenapa selama itu?" lanjutnya.

Disaat Aldrin ingin menyentuh gagang pintu, seseorang memanggilnya dari belakang.

"Anakku,"

Aldrin melepaskan tangannya dan menghampiri suara tersebut. Ia melihat Anggi sedang melipat pakaian.

"Tolong jangan pergi ke sekolah, Nak." pinta Anggi diiringi air mata bercucuran.

Aldrin bingung dengan kelakuan Bundanya. Padahal sebelumnya, Anggi yang membangunkan Aldrin untuk pergi ke sekolah.

***

Karena kasihan dengan Bundanya, Aldrin terpaksa tidak berangkat sekolah hari itu.

Anggi datang menyiapkan teh manis dan roti untuk Aldrin. Kemudian wanita itu duduk disampingnya.

Elusan tangan suci mendarat dirambut Aldrin. Saat itu juga Aldrin ingin menangis sekencang-kencangnya. Seperti ada sesuatu tidak beres yang tidak ia ketahui.

"Memangnya kenapa Aldrin gak boleh ke sekolah, Bun?" tanya Aldrin penasaran.

Anggi mengatur napas, "Gapapa, sayang,"

"Bunda mau kamu selamat, Nak."

Kata demi kata, kalimat demi kalimat, membuat Aldrin curiga dengan sesuatu. Ada apa sebenarnya?

Mereka berdua kemudian menyetel televisi. Siaran pertama menunjukkan kebakaran disuatu sekolah yang diakibatkan oleh penembakan bom.

Saat melihat keterangannya, Aldrin membesarkan bola matanya. Melihat tulisan "TRISAKTI" dikolom keterangan.

Aldrin menjatuhkan roti yang ia pegang. Melihat sekolahnya habis terbakar.

Terjadi kebakaran akibat penembakan bom di Sekolah Menengah Atas TRISAKTI yang terjadi pukul 7.45 WIB. Korban tewas sebanyak 171 orang, luka parah sebanyak 65 orang, luka ringan sebanyak 239 orang, dan sisanya selamat.

Anggi juga kaget melihat berita itu. Dia baru saja menyelamatkan anaknya dari maut. Sehingga ia langsung memeluk Aldrin sebagai tanda syukur.

***

10 tahun berlalu. Tepatnya pada tanggal 5, bulan Juli, tahun 2024 di Jakarta.

Singkatnya perjalanan, Aldrin tidak melihat Robert lagi dihidupnya. Ia juga sudah melupakan ayahnya itu. Dan sibuk dengan urusan dunianya.

"Pak Aldrin, penumpangnya sudah ada didalam pesawat semua. Pesawat bisa diberangkatkan."

Ya, Aldrin sudah bekerja menjadi pilot setelah sepuluh tahun tragedi kebakaran di sekolahnya. Untungnya saat itu, Aldrin sudah berubah menjadi lebih baik sehingga ada orang baik yang menawarkannya beasiswa.

Pesawat sudah sampai ditempat yang ingin dituju. Yakni Seoul, Korea Selatan.

Aldrin turun dari pesawat dengan tangan kanan memegang topi pilot dan tangan kiri membawa koper. Ia hendak menuju hotel karena ia juga akan menginap disana.

Sosok pria paruh baya juga ternyata baru selesai turun dari pesawat. Ia menggenggam tangan seorang wanita sambil menggendong anak. Mereka ingin berlibur.

Topi pilot terjatuh tanpa disengaja.

Aldrin menjatuhkan yang ia bawa ditangan kanan. Melihat Robert yang bahagia bersama wanita lain dan anak barunya.

Dengan sigap ia melepas koper dan berlari mencegah perjalanan keluarga kecil itu.

"Dasar pengkhianat!"

Langkah Robert beserta keluarganya terhenti ketika melihat didepannya adalah sang anak yang dulunya ia sayangi.

Waktu seperti berhenti sejenak. Tidak ada yang bersuara saat itu. Semua mematung. Seperti hanya Aldrin, Robert, dan seorang ibu beserta anaknya yang hidup.

"Dimana ayah selama ini? Ayah meninggalkan bunda?" tanya Aldrin diiringi dengan air mata bertetesan.

Valen─istri baru dari Robert memegang tangan suaminya dan melindungi anaknya.

Robert berlaku seolah-olah tidak mengenal orang yang ia hadapi sekarang.

"Wah..." gerutu Aldrin kesal.

Ia tak sanggup menahan kesabarannya. Menarik rambut Valen sekencang mungkin sampai wanita itu merasa kesakitan.

Robert sigap menahan tangan Aldrin, "Hei!"

"Kamu tidak punya adab terhadap orang yang lebih tua!"

Aldrin melepaskan tangannya dengan rambut Valen. Mengusap air matanya dan mengatur napasnya.

Kemudian lelaki berusia 28 tahun itu menatap ayahnya. Melirik dari bawah sampai atas. Dan terus menatap lebih dalam.

"Ayah kemana selama ini?" tanya Aldrin dengan bawaan yang tenang.

"Bunda kamu sudah meninggal, dan ayah menyerahkan kamu ke tetangga." jawab Robert tanpa merasa bersalah.

Valen memang sudah mengetahui cerita mereka, tetapi ia merasa sakit hati karena perlakuan orang yang tidak ia kenal itu seenaknya menarik rambutnya.

"Tinggalkan saja dia, Mas!" bisik Valen.

Aldrin yang mengetahui itu tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia bingung harus apa. Bahkan untuk berbicara, rasanya sangat sulit.

"Kelak karma akan menimpa keluarga kalian."

***

Sesampainya di hotel penginapan Aldrin.

Aldrin langsung bersih-bersih dan merapihkan barang bawaannya. Ia berada di hotel hanya satu malam saja. Karena besok ia harus kembali ke Bandar Udara untuk bekerja.

Setelah keadaan tenang kembali, ia menelpon Anggi di Jakarta.

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif." suara dari sebrang telpon.

Jutaan upaya ia coba demi menghubungi sang Ibu, tetapi hasilnya nihil. Tak ada sambungan dari Anggi.

"Aku belum lama meninggalkannya, tak ada tetangga yang memberi tahuku juga. Apa dia masih hidup?"

Semalaman ia memikirkan bundanya itu. Pikirannya untuk berlibur di Korea selama sehari hilang seketika.

Kini tangannya memerah karena memukuli dinding hotel. Ia ingin segera kembali ke Jakarta untuk menceritakan semuanya ke Anggi.

Tangisan dibarengi dengan derasnya hujan dan petir. Rasanya, Aldrin seperti dimarahi petir karena berlarut-larut dalam tangisan.

"Apa ini semua salahku, Tuhan?"

[Aldrin Series] MOTHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang