BAB 3

13 7 0
                                    

Aldrin kembali ke kelasnya dengan wajah murung. Tiara yang sedang mengajar serentak menghentikan aksinya. Wanita paruh baya itu segera menghampiri seorang anak yang terlambat.

"Aldrin, akhirnya kamu datang kembali ke sekolah," ucap syukur guru tersebut sambil memegang lengan Aldrin.

"Bunda sama ayah dateng kesini ya, bu?" tanya Aldrin diikuti dengan matanya yang melirik-lirik teman sekelasnya.

"Iya, Nak. Tadi mereka dipanggil karena kamu sudah bolos 3 hari," jawabnya dengan sedikit ragu.

"Nanti ibu mau bicara sebentar sama Aldrin, boleh ya?" tanyanya lagi.

"Iya, Bu."

Aldrin berjalan menuju kursinya. Ia meletakkan tas dengan gantungan kunci bergambar seorang anak yang bermain layangan dengan ibunya.

Perlahan, memori masa kecil Aldrin terputar kembali. Ia mengingat bahwa dulu ia selalu bersama Anggi, mengingat bahwa ia dibantu oleh Anggi, mengingat bahwa ia dirawat sakit hanya oleh Anggi, dan ia dibela oleh bundanya itu.

Aldrin mengeluarkan buku dan tempat pensil di atas meja. Membuka tutup pulpen dan mulai menulis soal yang ada di papan tulis.

Zayyan yang duduk di belakangnya menyolek punggung Aldrin dengan pulpen secara pelan.

"Hei, Aldrin." sapanya sambil berbisik.

Ketika mendengar suara Zayyan, Aldrin mengingat semua kenakalan yang telah ia buat karena ajakan teman di belakangnya itu.

Aldrin menghiraukan Zayyan, ia lanjut menulis soal yang ada di papan tulis.

Tidak lama, Zayyan menulis sebuah surat di kertas. Lalu memasukkan kertas tersebut ke sepatu pantofel nya. Ia kemudian mendorong sepatu itu ke tempat Aldrin.

Aldrin yang merasa risih akhirnya membuka kertas tersebut.

Nanti malem ikut gua tawuran sama SMA PANCASILA, siap siap jam 7 malem. Ada Raka sama Leo juga.

Mata Aldrin hampir melompat keluar dari tempatnya. Ia kaget, karena kali ini konsekuensinya sangat berbahaya. Bisa merenggut nyawa, dan juga dikeluarkan dari sekolah.

Ia melecakkan kertas tersebut dan melemparnya keluar jendela. Kebetulan, ia duduk dipojok dekat jendela.

***

Jam istirahat kedua tiba, Tiara lebih dulu mengajak Aldrin untuk ikut bersamanya ke ruang kepala sekolah.

Aldrin terpaksa masuk ke ruangan itu untuk yang pertama kali. Karena, sebelumnya ia tidak pernah masuk ke ruangan dengan tulisan "Ruang Kepala Sekolah / Headmaster's Room"

Pak Noval sudah menunggu kedatangan Aldrin sambil memutar-mutarkan pulpennya. Setelah ia melihat anak itu sudah datang, ia menghentikan aksinya lalu menyuruh Aldrin dan Tiara duduk.

Noval menarik dalam napas kemudian menghembuskan napasnya, "Aldrin,"

Aldrin menelan ludah lalu mulai berbicara, "Iya, Pak," sahutnya ragu.

"Kamu akhir-akhir ini tidak masuk sekolah, ya?" tanya pria didepan Aldrin dengan pelan dan lembut.

Aldrin menganggukkan kepala, "Iya, Pak,"

"Kalau bapak boleh tau, kenapa, Aldrin?"

Aldrin memikirkan sejenak sambil meremas-remas celananya. Ia menundukkan kepala dan melihat ke arah atas. Ia juga mengatur napasnya.

"Di atas emang ada apa Aldrin, hm?" tanya Noval sambil mendekatkan wajahnya ke hadapan wajah Aldrin.

"Maaf, Pak. Waktu itu Aldrin bolos karena capek sekolah," Aldrin menjawab pelan dan sambil merenungi dirinya.

"Yakin capek sekolah?" tanya Noval menegaskan.

"Iya, Pak,"

Aldrin berkali-kali menelan ludahnya, melihat sekitar, meremas-remas celananya. Sampai akhirnya Noval berbicara untuk Aldrin yang terakhir kali.

"Ya sudah, kedepannya, kamu jangan bolos lagi, ya? Kalau capek, istirahat di rumah, tapi jangan bolos. Terus juga, hindari bergaul sama anak-anak yang nakal, ya." sahutnya lembut.

Noval dikenal sebagai kepala sekolah yang tegas dan galak. Namun kali ini beda. Sesuai dengan pernyataan Tiara diwawancara antara orang tua Aldrin dan wali kelas tadi pagi, Aldrin memang anak yang lemah lembut dan tidak bisa dikasari.

"Ya sudah silakan, Bu." ujar Noval terhadap Tiara. Tujuannya untuk mengakhiri pertemuannya dengan Aldrin.

"Baik, Pak."

***

Saat istirahat, Aldrin tidak lagi bermain dengan Zayyan dan kawan-kawan setongkrongannya lagi. Ia memilih untuk sendiri dan membaca buku Rangkuman Pengetahuan Alam Lengkap.

Aldrin berharap, ia mengembalikkan dirinya sendiri yang dulu untuk masa sekarang. Ia berharap bundanya tidak dimarahi lagi oleh ayahnya. Dan keluarga mereka harmonis seperti dulu.

Lembar disetiap lembar Aldrin baca. Menenangkan pikirannya dengan menghafal materi-materi yang ia terlambat pelajari.

"Aldrin..."

Aldrin merasa seseorang memanggil namanya pelan. Ia menengok ke samping dan ke depan, ke belakang dan ke atas. Namun, ia tidak mendapati orang yang memanggilnya itu.

***

Bel sekolah berbunyi. Cowok berusia 18 tahun itu membereskan bukunya ke dalam tas. Dan bersiap untuk pulang.

Entah bagaimana, feeling Aldrin sedang tidak enak dirasa. Saat berdoa pulang, Aldrin memikirkan bunda kesayangannya itu, yakni Anggi.

Selesai berdoa, Aldrin berpamitan kepada guru lalu berlari sekencang mungkin ke parkiran. Ia merasa Anggi sedang dalam bahaya.

***

Sampailah Aldrin di depan rumahnya. Melihat bendera kuning dari kejauhan.

Laki-laki itu menangis sambil berlari masuk ke dalam rumah, tanpa membaca nama dibendera tersebut.

Sesampainya di dalam rumah, ia menekuk kakinya dan berdiri menggunakan lutut. Melihat jenazah sosok ibu yang ia sayangi dan bangga-banggakan tergeletak di atas kain kafan.

Lalu, seperti malaikat terasa sedang memeluk Aldrin dari samping. Dan mengucap, "Aldrin kenapa menangis?"

Aldrin menengok ke samping kanannya. Melihat bahwa bundanya masih hidup. Dan melihat kembali sosok wanita dikain kafan tersebut.

"S-siapa yang meninggal, Bunda?" tanya Aldrin pelan.

"Tetangga kita sayang. Rumahnya keterbatasan tempat, akhirnya numpang di rumah kita dulu,"

"Bunda minta maaf udah marahin Aldrin tadi, ya."

Aldrin langsung memeluk bunda dan mencium keningnya. Rasa lega ia dapati setelah mengetahui bahwa bundanya itu masih segar bugar dan hidup.

[Aldrin Series] MOTHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang