Part 21 - Pertanyaan Shaka

2.8K 128 2
                                    

Shaka kembali membuka pintu tanpa terlihat meraba-raba yang membuat Ratih berpikir kalau kebutaan pria itu sebenarnya palsu.

Pria itu mengarahkan tubuhnya ke arah kamarnya dan dalam lima langkah pria itu berhenti. "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau tidak mengikutiku?" Tanyanya dengan kepala menghadap ke sisi kanan.

Ratih menelan ludah dan dengan cepat mengatur langkah di belakang pria itu. Bayangan membantu Shaka mengenakan pakaian tidurnya membuat jantung Ratih berdebar.

Apakah mereka akan mengulangi kejadian waktu itu lagi? Tanya Ratih dalam hati dan seketika ia menggelengkan kepala, menghilangkan bayangan tak menyenangkan yang ia terima kala itu.

Bukankah Shaka memberikannya buku dan memintanya untuk membacanya. Jadi hanya itu kan yang akan Ratih lakukan malam ini?

Shaka membuka pintu kamarnya lebar-lebar. Berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum beranjak menuju tempat tidur dimana Ratih sudah menyiapkan pakaian tidurnya.

Pria itu melepas pakaiannya satu persatu dan menggantinya dengan baju tidur tanpa menunggu bantuan dari Ratih. Jadi, pria itu memang semandiri itu. Lantas kenapa waktu itu dia ingin Ratih membantunya berpakaian seolah dia tidak mampu?

Namun Ratih hanya menggaungkan pertanyaan itu dalam kepalanya. Ia meletakkan buku dengan sembarangan di sudut atas tempat tidur dan mengambil pakaian kotor Shaka dan kemudian membawanya ke keranjang cucian yang akan ia bawa nanti saat keluar kamar.

"Apa disana ada kursi?" Tanya Shaka seraya mendudukkan tubuhnya ke atas tempat tidur.

Ratih memandang berkeliling. Satu-satunya kursi yang ia tahu itu berada di ruang ganti dan itupun merupakan kursi pendek yang biasa digunakannya untuk mencapai benda-benda yang tinggi.

"Di kamar ganti, Tuan." Ucap Ratih menginformasikan.

"Bawa kemari." Perintah Shaka dan dengan langkah cepat Ratih membawanya.

Ratih tahu kalau seharusnya dia bergerak dengan lebih pelan. Hati-hati dan tidak menimbulkan suara grasak-grusuk seperti yang dilakukannya saat ini. Namun entah kenapa, setiap mendapatkan perintah dari Shaka, Ratih selalu refleks bergerak cepat seperti tornado karena dia takut Shaka balik memarahinya jika dia lamban.

"Ini, Tuan." Ratih meletakkan kursi pendek berukuran tinggi tiga puluh senti itu di ujung tempat tidur.

"Bawa kemari dan letakkan di samping. Posisikan dirimu di bawah lampu. Kau tidak mungkin membaca dalam gelap kan?" Ejek pria itu yang hanya bisa Ratih turuti.

Ratih membawa kursi pendek itu ke samping tempat tidur. Mengambil jarak sekurangnya enam puluh sentimeter dari tempat tidur Shaka karena dia sendiri tidak mau berada terlalu dekat dengan Shaka. Setelah meletakkan kursinya, Ratih kembali meraih novel yang tadi Shaka berikan padanya.

"Apa judulnya?" Shaka bertanya seraya membetulkan letak selimut dan bantalnya.

"Bared To You, Terbuka Untukmu." Ucap Ratih membaca judul yang tertulis dalam dua bahasa itu.

Tidak ada yang aneh dari sampulnya. Dan jika dilihat dari kata New York Times yang tertera di bagian atas sampul, Ratih menduga kalau ini semacam novel terjemahan.

Shaka tampak mengerutkan dahinya. "Bacakan blurb nya." Perintahnya dan Ratih membalik bukunya dan mulai membaca.

"Aku wanita yang tidak sempurna dan membawa luka masa lalu, namun dia bisa membuka diriku dengan mudah..." Ratih terus membaca blurb sampai akhir dan mengernyit sesudahnya.

Apakah bacaan ini aman untuk dia baca? Karena sekalipun jilidnya tampak biasa, blurbnya membahas mengenai 'hasrat' yang Ratih tahu artinya apa.

Ratih memandang majikannya, tapi majikannya itu tampak tenang. Berbaring terlentang dengan mata tertutup dengan selimut yang hanya menutupi separuh tubuhnya. Membiarkan bagian perut hingga kepalanya terbuka.

"Apa yang kau lakukan? Kenapa tidak lanjut membaca?" Shaka membuka matanya, memandang ke arah Ratih duduk dengan alis bertaut kesal seolah dia bisa melihat Ratih disana.

"I-iya, Tuan. Saya mulai membaca." Ucap Ratih dan mulai membuka halaman demi halaman.

"Lewati yang tidak penting. Langsung saja baca bab pertamanya." Perintahnya yang hanya dijawab dengan anggukkan Ratih.

"Kita harus pergi..." Ratih memulai kalimat pertama dalam novel dan membaca dengan artikulasi dan intonasi yang ia usahakan tidak terdengar membosankan. Saat ia selesai dengan paragraf pertama, ia melihat respon Shaka dan pria itu tampak menganggukkan kepala seolah setuju cara Ratih membaca.

Ratih melanjutkan paragraf selanjutnya dan mendapat revisi dari Shaka saat ia salah menyebut nama tokoh. Saat cerita memasuki halaman ke tujuh belas, Ratih dibuat tegang karena si tokoh utama perempuan menggambarkan kekagumannya akan fisik si tokoh pria yang tampan dan menakjubkan serta menjelaskan tentang gairahnya pada si pria yang nyatanya berpenampilan sopan.

Sambil membaca Ratih memperhatikan majikannya untuk mencari tahu apakah pria itu sudah tidur atau belum.

"Kenapa berhenti?" Tanya Shaka dengan mata terpejam.

"Saya pikir Anda sudah tidur, Tuan." Jawab Ratih apa adanya.

"Teruskan saja ceritanya. Kalau aku belum menyuruhmu pergi. Atau kalau aku belum terdengar mendengkur, kau harus tetap membacanya." Ujar Shaka dingin.

Sementara Shaka, sejak tadi ia sudah berusaha untuk terlelap. Tapi nyatanya, alih-alih bisa tidur, seluruh tubuh Shaka justru malah terasa aktif. Terlebih suara Ratih malah membuainya dalam artian lain yang justru membuat Shaka semakin frustasi.

Tapi mengusir gadis itu dari ruangannya juga bukan sebuah pilihan karena itu justru malah membuatnya merasa kalah dan Shaka terlalu gengsi untuk mengakui itu.

"Wajahku merah dan mataku yang abu-abu terlihat cerah." Ucap Ratih mengutip kalimat di buku.

"Apa warna matamu?" Tanya Shaka dengan mata tertutup. Awalnya Ratih menduga kalau ia salah mendengar tapi saat melirik Shaka yang kini membuka mata dan menatap ke arahnya membuatnya sadar kalau memang Shaka sedang bertanya padanya.

"Saya tidak pernah memperhatikannya Tuan." Jawab Ratih jujur.

Shaka mengerutkan dahi. Pria itu bangkit kembali dan duduk di atas tempat tidurnya. Membuat Ratih kembali menegang karena antisipasi.

"Kau tidak pernah bercermin?" Tanya Shaka ingin tahu.

Ratih mengangguk, dan sadar kalau pria itu tidak akan melihatnya. "Saya bercermin, Tuan. Tapi saya tidak pernah memperhatikan keseluruhan wajah saya dengan seksama. Terkadang mata saya terlihat hitam, tapi terkadang mereka bilang kalau mata saya coklat." Jawabnya apa adanya. Shaka mengangkat sudut mulutnya.

"Bagaimana dengan rambutmu? Apa warnanya?"

"Sama seperti nona Shanaya. Tembaga."

"Kulitmu?"

"Saya tidak tahu apa kulit saya termasuk kuning langsat atau putih." Ratih memandangi kedua tangannya bergiliran.

"Berapa tinggi badanmu?" Tanya Shaka lagi ingin tahu.

"Seratus enam puluh."

Shaka mengangguk. "Cukup tinggi tapi tetap pendek menurutku. Berat badanmu?"

"Saya tidak tahu. Terkahir saya menimbang, beratnya lima puluh empat."

"Tidak termasuk ideal, tapi cukup." Ujar pria itu lagi.

Ratih mengerutkan dahi. Sebenarnya ia tidak mengerti kenapa majikannya bertanya sedetail itu. Apa pria itu sedang melakukan sensus? Namun Ratih tidak mau ambil pusing.

"Apa Tuan ingin saya lanjut membaca?" Tanya Ratih ingin tahu.

Shaka menggelengkan kepala dan kembali berbaring. "Pergilah. Aku tidak mau dianggap tidak manusiawi karena menyuruhmu terus bekerja." Ucapnya dengan datar.

Ratih ingin bersorak karena memang ia lelah setelah seharian ini bekerja dan mengasuh Shanaya yang sangat aktif. Menggumamkan terima kasih, Shanaya bangkit berdiri dan mengembalikan kursi ke tempatnya semula.

"Apa saya harus mengembalikan buku ini ke kantor Anda, Tuan?" Tanyanya karena ia tidak mau berbuat tanpa izin tuannya.

"Tinggalkan saja." Ucap Shaka dan Ratih mengangguk. Berlalu pergi setelah mematikan lampu kamar dan menutup pintu.

Entangled In Your CharmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang