أربعة وعشرون

54 6 0
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

اللهمّ صلّي على سيدنا محمد وعلى عليّ سيدنا محمد

☪︎☪︎☪︎

“Dan diletakkanlah kitab (cacatan amal), lalu engkau akan melihat orang yang berdosa merasa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, ‘Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar, melainkan tercatat semuanya.’ Dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tulis). Dan Tuhanmu tidak menzalimi orang jua pun.”

[QS Al-Khaf/18:49]


☪︎☪︎☪︎


Sudah menjadi kebiasaan Lesa sepulang sekolah akan singgah sebentar ke warung yang searah dengan jalan pulang ke rumahnya. Bukan hanya sekedar mampir jajan saja, tapi juga membeli sayuran untuk membuat lauk di sore hari. Memang sengaja, jatah masak dijadwal oleh kakaknya.

Kalau kakaknya jadwal masaknya pagi hari, maka Lesa sore hari. Sengaja juga, bapaknya tidak diikutsertakan dalam jadwal, karena tahu, bapaknya tak bisa masak. Selain itu juga, mereka berdua mengerti kalau kerjaan bapaknya itu berat dan harus berada di bawah sinar matahari. Biarlah bapaknya yang bekerja mencari nafkah demi kelanjutan hidup mereka berdua dan biarlah pekerjaan rumah menjadi tugas mereka berdua. Itung-itung  belajar menjadi ibu rumah tangga.

“Eh, Buk, tau gak sih. Kemarin saya kan belanja kebutuhan rumah. Nah saya di jalan melihat anaknya Pak Kyai Budi sedang berbonceng dengan perempuan.” Ibu berdaster kuning memulai pembicaraannya.

Satu pemilik warung dan dua pembeli sibuk bergosip di depan meja kasir.

“Emang udah pulang pondok?” tanya ibu kasir sembari memasukkan beberapa butir telur ke  dalam plastik putih bening.

“Sudah. Kan memang sudah jadwalnya pulang,” sahutnya sedikit keras.

“Ah, mungkin salah lihat kali,” sahut ibu-ibu berjilbab hitam baru saja mendatangi kasir dan meletakkan satu bungkus detergen.

Ibu daster kuning itu menepuk pundak ibu kerudung hitam. “Enggak, Bu. Saya lihat asli. Wong saya hafal betul kok wajahnya.”

“Lihat di mana, Bu?”

“Lampu merah. Anaknya berhenti di lampu merah dekat Pojok Beteng Kulon dari arah Barat, saya dari Timur mau ke Utara,” jawabnya mencoba mengingat pertemuan mereka, yang katanya benar itu.

“Paling ibu salah lihat kali. Mungkin sama ibunya.” Kata ibu berjilbab hitam tak percaya.

“Kok gak percaya banget. Masa perawakan ibu nyai sekecil itu. Yang di bonceng itu pendek tahu.”

“Bisa saja karena pakaian yang di kenakan bu nyai sengaja mencari yang besar, supaya tidak membentuk lekuk tubuhnya,” elaknya tak percaya.

“Kalau sama ibuknya kenapa ibu nyai tak mau berpegangan sama anaknya, malah berpegangan di bagian besi belakang motor?”

Baik ibu kerudung hitam dan ibu kasir bungkam. Kalau di logika, iya juga, ya. Kan biasanya kalau pasangan ibu dan anak, apalagi anak laki-laki, kalau mereka berdua berbonceng motor pasti akan saling pegangan atau memeluk, supaya tidak jatuh.

Di Bawah Langit Subuh (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang