TAR#5_

6 3 0
                                    

"Hei! Kerjaan kita belum selesai. Apa yang kau lakukan di sini?"

Suara serak dari makhluk beruban mengejutkan Anzan. Lelaki itu menoleh ke sudut berbeda. Ternyata ada pintu lain di ruangan itu.

"Membantu Aya menyimpan barang."

Ruha menatap lelaki itu sedikit curiga. Ia tidak menyangka Anzan akan dengan mudah bergaul dengan makhluk lain. Namun, setelah dipikir kembali. Itu hal wajar karena mereka sama-sama manusia.

"Kalau sudah, ikut aku!" Ruha segera berbalik dan di ikuti Anzan yang setia berjalan di belakang.

Yang tidak bisa Anzan percaya dari toserba itu adalah penampakannya terlihat tidak terlalu besar. Tapi, hari itu saja dia sudah berkeliling ke beberapa tempat yang dia yakin masih begitu banyak ruangan lagi selain yang dia datangi tadi.

Kali ini, Ruha membawa Anzan kembali ke dalam gudang penyimpanan. Tempat yang sama saat Anzan membantu makhluk itu memasukkan tumpukan kardus. Kini Anzan bisa melihat lebih detail seberapa luas ruangan itu.

"Kau bisa simpan kotak-kotak itu ke dalam rak sesuai jenisnya. Itu tidak akan sulit." Ruha beralih ke seberang rak yang lain dan melakukan hal sama dengan apa yang dia katakan pada Anzan.

Anzan mengikuti kemana Ruha berpindah. Ia mengingat apa yang dikatakan Aya sebelumnya, untuk memilih mana kata yang terdengar masuk akal untuk diikuti atau tidak. Dan sepertinya, tidak ada yang perlu ia khawatirkan kali ini.

Lima belas menit berlalu. Mereka masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Tidak ada percakapan apa pun di antara mereka. Sampai Ruha akhirnya bersuara.

"Bagaimana kau bisa sampai ke sini?"

Anzan mengangkat kepalanya. "Maksudnya?"

"Kau masih menempuh pendidikan, kan? Kenapa kau malah mencari pekerjaan, bukan fokus ke pendidikanmu?"

Entah kebiasaan atau bagaimana. Sepertinya Ruha terbiasa berbicara tanpa memalingkan fokus pada pekerjaannya. Tapi, dia juga bisa berbicara dengan lancar. Benar-benar makhluk multitasking.

"Soal itu ... penjelasannya akan sedikit membahas tentang keluargaku. Kau berkenan mendengarnya?"

Ruha mendeham sebagai jawaban sembari menaikkan kedua alisnya. Mungkin tidak apa mendengarkan sedikit cerita tentang kehidupan Anzan. Dengan tangan yang terus merapikan kotak-kotak itu ke dalam rak, Anzan mulai bercerita.

"Bisa dibilang aku hampir menjadi sebatas kara. Aku hidup dengan ibu sambung yang tergolong cukup muda. Dia bekerja terlalu keras hanya untuk kami berdua sejak kematian ayahku. Seluruh harta peninggalan ayah dikelolanya yang justru membuatnya takut kalau aku tidak mendapatkan hakku atas harta itu."

Ruha melirik Anzan yang berada cukup jauh dari hadapannya. "Lantas, kau bekerja untuk apa?"

"Tidakkah sudah sangat jelas? Aku melakukannya agar keluargaku yang tersisa tidak tertekan soal finansial."

Ruha menatap datar. Kali ini dia menghentikan pekerjaannya sejenak. "Tidakkah kau berpikir itu akan membuat ibu sambungmu semakin merasa bersalah? Kalau dia seorang wanita yang mudah menyalahkan diri. Keputusanmu ini malah akan memperumit pemukuirannya."

Gerakan tangan Anzan terhenti. Kalimat yang dilontarkan Ruha hampir serupa dengan apa yang dikatakan Sandy beberapa bulan lalu. Ia juga sempat berpikir demikian, tapi membiarkan ibu sambungnya bekerja sendiri? Itu bukan benar-benar tidak terpikirkan olehnya.

"Kau tau Ruha, aku selalu berpikir setiap manusia tidak ada yang benar-benar baik. Di setiap kebaikan, mereka pasti memiliki maksud tersendiri. Aku tidak menuduh bahwa ibu sambungku memiliki niat jahat atau semacamnya. Hanya saja, manusia adalah makhluk yang sangat rawan akan perubahan."

TOSERBATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang