iii

111 31 12
                                    

Sekar tidak berbohong saat mengatakan hendak menjemput Wilona di hari pertamanya bersekolah. Tenang saja, Sekar tidak membolos demi menjemput Wilona―sebab hari ini sekolahnya pulang lebih awal, yaitu pukul sebelas siang.

Gadis itu kini duduk diatas motornya yang ia parkir diseberang jalan sekolah Wilona. Menunggu seraya menikmati seporsi siomay khas bandung kw.

Lokasi sekolah Wilona yang memang berada di zona sekolah―alias banyak sekali sekolah di sekitaran sana mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga SMA dan SMK, membuat daerah itu sangatlah ramai. Belum lagi, tepat disebelah selatan sekolah Wilona juga terdapat spot wisata kota; lebih tepatnya diseberang jalan.

Satu persatu siswa-siswi mulai keluar dari gerbang, buat Sekar mempertajam penglihatannya untuk menemukan Wilona. Dan ya, lima menit kemudian ia dapat melihat Wilona dengan tas ransel berwarna merah muda di pundaknya baru saja keluar dari dalam area sekolah.

“Ona!” seru Sekar seraya melambaikan tangannya agar Wilona bisa melihatnya.

Wilona yang merasa namanya dipanggil celingukan dengan alis menyatu, disisi lain ia juga berusaha menemukan Gina. Karena sepuluh menit yang lalu, Wilona sudah meminjam ponsel gurunya untuk mengirim pesan pada Gina―meminta untuk dijemput.

Sekar yang merasa Wilona tidak melihatnya menghela nafas, ia kembalikan piring bekas siomay miliknya pada si penjual lalu menyeberang jalan untuk hampiri sang calon kekasih.

Ia tepuk pelan bahu Wilona yang tengah memunggunginya buat gadis itu berjengit. Sekar langsung nyengir lebar kala Wilona berbalik dan mendelik tajam kearahnya.

“Ish! Kak Sekar ngagetin!” dengus Wilona seraya layangkan pukulan pelan pada lengan Sekar yang kini tengah terbahak.

“Lucu banget, kayak anak ilang.”

“Ngomong apa?!”

“Enggak, bercanda. Yuk pulang?”

Sekar merangkul tubuh Wilona yang berkali lipat lebih mungil darinya yang bertubuh bongsor. Satu tangannya yang lain dengan lancang mengacak gemas rambut Wilona buat gadis itu mendengus.

“Kakak nyebelin deh. Pantes temenan sama Mbak Gina,” cibirnya.

Sekar hanya tertawa, kemudian bawa Wilona untuk menyeberang jalan. Menuju ke tempat dimana motornya terparkir.

“Mau langsung pulang atau mau diajak keliling kota dulu?” tanya Sekar seraya bantu pasangkan helm pada kepala Wilona.

Helm berwarna merah jambu bergambar wajah patrick star yang baru saja ia beli sebelum menjemput Wilona. Khusus untuk yang satu ini, Sekar ingin coba lebih effort. Mengambil pengalaman yang ia dapat dari para mantannya dulu.

Tentu saja sebagai seorang perempuan, setidaknya Sekar juga bisa sedikit mengerti apa yang sebenarnya diinginkan oleh perempuan dalam sebuah hubungan.

“Mau pulang aja, capek,” jawab Wilona seadanya, wajahnya yang lesu sudah jelaskan betapa lelahnya gadis itu setelah jalani hari pertamanya ditempat baru.

Sekar paham, beradaptasi di lingkungan baru tidak mungkin semudah itu.

Sekar segera naiki motornya, membantu turunkan footstep untuk Wilona. Setelah gadis itu naik, Sekar memintanya untuk berpegangan pada kedua sisi pinggangnya. Meski awalnya sempat menolak karena malu, Wilona akhirnya mau berpegangan meski wajahnya harus memerah bak kepiting rebus.

“Udah?”

“Hmm, buruan jalan ya, Kak. Sesuai aplikasi.”

Sekar tertawa mendengarnya, ia mulai pacu motornya meninggalkan kawasan itu. Kalau biasanya Sekar suka ugal-ugalan saat berkendara, maka kali ini ia berusaha semaksimal mungkin berkendara dengan kecepatan standar.

WidodariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang