Chapter 5: Teman di Tengah Kesunyian

10 1 0
                                    

Matahari baru saja naik tinggi ketika semua siswa berkumpul di halaman sekolah. Hari ini adalah hari yang spesial karena mereka akan berenang di kolam renang umum yang cukup terkenal di kota. Suasana penuh keceriaan dan tawa menyelimuti setiap sudut halaman, anak-anak bersemangat menunggu giliran untuk masuk ke dalam bus. Anak-anak tertawa riang bersama orangtua mereka, sementara guru-guru sibuk mengatur barisan.

Hana berdiri di samping gerbang, memperhatikan teman-temannya yang sibuk bercanda dengan orangtua masing-masing. Rasa cemas perlahan mulai menyelimutinya. Di tengah keramaian itu, Hana lagi-lagi merasa sendirian. Tidak ada yang menemaninya, tidak ada yang mengantarkannya seperti teman-temannya yang ditemani oleh ayah, ibu, atau kakak mereka. Hana hanya diantar oleh omnya, seperti biasanya, karena kedua orangtuanya terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Tapi, kali ini omnya bahkan tidak bisa ikut menunggu sampai bus datang karena harus segera berangkat ke rumah sakit.

Hana menghela napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Namun, ada rasa aneh yang menyelinap dalam hatinya, sebuah perasaan kosong di tengah keramaian. Setiap kali ia melihat ke sekeliling, ia hanya menemukan orangtua lain yang memeluk anak-anak mereka, memberikan pesan semangat, atau sekadar memberikan bekal tambahan. Sementara itu, Hana hanya ditemani suara hatinya yang sepi.

"Yah, ini bukan yang pertama kali," gumam Hana pelan sambil menunduk.

Ketika nama-nama dipanggil oleh guru, satu per satu anak-anak naik ke dalam bus. Hana menunggu dengan tenang, meskipun ada getaran kecil dalam dirinya. Begitu namanya dipanggil, ia melangkah ke bus dan mencari tempat duduk. Lagi-lagi, ia duduk sendirian di bangku paling belakang, memandang keluar jendela sementara bus perlahan mulai bergerak. Anak-anak lain tampak sibuk dengan obrolan mereka, dan Hana hanya bisa mendengarkan dari jauh, merasa terasing di dunia yang penuh dengan suara tawa.

Perjalanan ke kolam renang tidak lama, tapi bagi Hana, waktu terasa berjalan lambat. Pemandangan di luar jendela berlalu begitu cepat, seolah mengekspresikan kegelisahan yang semakin dalam. Di dalam bus, suara riuh teman-teman sebayanya terasa begitu jauh, meski mereka duduk hanya beberapa meter darinya. Anak-anak berbincang tentang pakaian renang baru mereka, atau tentang harapan mereka bisa berenang lebih cepat dari teman-teman lain. Hana mendengar semuanya, tapi tetap tak mampu berpartisipasi.

Sesampainya di kolam renang, semua anak dengan cepat turun dari bus, mengganti pakaian renang mereka, dan bersiap untuk pelajaran. Hana melakukan hal yang sama, meskipun kali ini perasaannya sedikit lebih baik. Ia selalu suka berenang, dan di air, ia bisa melupakan sejenak rasa kesendiriannya. Di air, tidak ada tawa yang terlalu keras, tidak ada percakapan yang perlu diikuti, hanya ada dirinya dan tenangnya pergerakan air di sekelilingnya.

Kolam renang dipenuhi dengan suara tawa dan percikan air. Guru-guru mengawasi dari tepi kolam, memberi instruksi dan mengarahkan penilaian untuk setiap anak. Ketika gilirannya tiba, Hana dengan tenang melompat ke dalam air, melakukan gerakan renang yang sudah ia pelajari selama beberapa bulan terakhir. Meski sendirian, ia berusaha menunjukkan yang terbaik. Ia tahu bahwa ia bisa melakukan ini, bahkan tanpa dukungan orang lain di tepi kolam.

Selesai dengan penilaian, Hana merasa lega. Ia naik ke tepi kolam, mengeringkan tubuhnya dengan handuk, lalu menuju ke tempat duduk di pinggir kolam untuk mengambil bekalnya. Ia membuka tas dan mengeluarkan kotak makan siangnya—nasi, sayur, dan ayam goreng yang sudah disiapkan omnya tadi pagi. Namun, sebelum sempat ia menyuapkan makanan ke mulut, seorang wanita mendekat.

"Hana, kamu sendiri?" suara lembut itu menyapa.

Hana menoleh dan melihat Ibu Tegar, salah satu orang tua murid yang ia kenal dari kegiatan sekolah. Ibu Tegar tersenyum hangat, membawa sebuah kotak makanan di tangannya.

"Iya, Bu. Saya sendirian," jawab Hana, sedikit tersipu.

"Ini untuk Hana," Ibu Tegar menyodorkan kotak makanan yang dibawanya. "Ada sedikit makanan tambahan untuk kamu. Silakan dimakan, ya."

Hana terkejut dan sedikit bingung. "Tapi, Bu, saya sudah bawa bekal sendiri," katanya sambil menunjukkan kotak makan siangnya.

Ibu Tegar tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, nak. Setelah berenang, pasti kamu butuh lebih banyak energi. Lagipula, Tegar juga ada di sini untuk menemanimu."

Hana melihat ke arah Tegar, yang tampak sedikit malu-malu berdiri di samping ibunya. Ia tersenyum canggung kepada Hana. Meski tidak terlalu dekat, Hana tahu bahwa Tegar adalah anak yang pendiam dan tidak banyak bicara.

"Nanti di bus, kamu duduk sama Tegar, ya? Biar ada teman. Ibu bawa motor sendiri, jadi kalian bisa duduk berdua," lanjut Ibu Tegar dengan lembut.

Hana tersentuh oleh perhatian Ibu Tegar. Ia tersenyum kecil dan mengangguk. "Terima kasih banyak, Bu. Saya senang ditemani."

Mereka pun duduk bersama di pinggir kolam, menikmati bekal mereka. Tegar, meskipun pemalu, sesekali melirik Hana dan tersenyum. Mereka mulai bercakap-cakap pelan, membahas kegiatan renang hari ini dan bagaimana perasaan mereka masing-masing. Hana merasa sedikit lebih nyaman dengan kehadiran Tegar dan ibunya. Meskipun tidak mengenal mereka dengan baik, perhatian kecil seperti ini membuat Hana merasa tidak sepenuhnya sendirian.

Setelah makan siang, mereka bersiap-siap kembali ke sekolah. Di dalam bus, seperti yang dijanjikan, Hana duduk bersama Tegar. Mereka berbagi cerita tentang hobi masing-masing sepanjang perjalanan. Hana bercerita tentang kecintaannya pada buku dan menulis, sementara Tegar dengan antusias bercerita tentang permainan video yang ia sukai.

Meskipun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda dan memiliki minat yang berbeda, Hana merasa nyaman berbicara dengan Tegar. Tidak seperti percakapan dengan teman-temannya yang lain, percakapan dengan Tegar terasa ringan dan tidak penuh tekanan. Ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa perlu merasa canggung atau takut dihakimi.

Sepanjang perjalanan pulang, mereka semakin akrab. Tegar mulai lebih banyak bercerita, dan Hana pun mulai lebih banyak tertawa. Mereka berdua, yang pada awalnya saling tidak mengenal dengan baik, kini merasa seperti teman yang sudah lama berteman.

Sesampainya di sekolah, Hana melihat omnya sudah menunggu di gerbang. Ia melambai pada Tegar dan ibunya sebelum turun dari bus.

"Hati-hati di jalan, Hana," kata Ibu Tegar sebelum mereka berpisah.

"Terima kasih banyak, Bu," jawab Hana dengan tulus.

Saat Hana berjalan ke arah omnya, hatinya terasa lebih ringan. Meskipun masih sering merasa sendirian, hari ini ia menyadari bahwa ada orang-orang di sekitarnya yang peduli. Entah itu Marcel kemarin atau Tegar dan ibunya hari ini, Hana tahu bahwa ia tidak benar-benar sendirian. Selalu ada orang yang bersedia menemaninya, bahkan ketika ia merasa paling sendirian.

Hari ini, Hana belajar bahwa keberanian bukan hanya tentang menghadapi ketakutan sendirian. Terkadang, keberanian adalah menerima bantuan dan kehangatan dari orang lain, dan membiarkan diri kita dikelilingi oleh orang-orang yang peduli.

Tempat Kita BerlabuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang