Chapter 10: Kunjungan Tak Terduga

12 1 0
                                    

Keesokan harinya, Hana terbangun dengan perasaan lebih baik dari sebelumnya. Cahaya matahari pagi yang menerobos jendela kamar rumah sakit memandikan wajahnya dengan kehangatan lembut. Meski tubuhnya masih terasa sedikit kaku dan nyeri di beberapa bagian akibat luka bakarnya, semangat di dalam dirinya mulai kembali tumbuh. Kunjungan dari teman-temannya sehari sebelumnya memberinya perspektif baru. Hana yang biasanya merasa kesepian kini mulai menyadari bahwa banyak orang peduli padanya, bahkan di saat-saat yang tidak ia duga.

"Semoga hari ini lebih baik lagi," gumamnya dalam hati sambil meregangkan tubuh dengan hati-hati. Matanya tertuju pada jendela di mana sinar matahari bermain di antara dedaunan pohon di luar. Hujan semalam menyisakan embun yang menggantung di atas daun-daun, menciptakan pemandangan yang tenang.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan seorang perawat masuk. Perawat itu adalah wajah yang akrab, wanita berusia pertengahan 30-an yang selalu tersenyum hangat setiap kali datang memeriksa keadaan Hana. "Pagi, Hana! Bagaimana perasaanmu hari ini?" tanyanya dengan nada riang.

"Lebih baik, Bu," jawab Hana sambil tersenyum kecil. "Saya merasa lebih kuat sekarang."

"Syukurlah," ucap perawat itu sambil memeriksa kondisi Hana dengan cermat. "Jika kondisi terus membaik seperti ini, kamu mungkin bisa pulang dalam beberapa hari ke depan. Tapi ingat, jangan terburu-buru. Proses penyembuhanmu harus bertahap."

Hana mengangguk pelan. Meskipun ia sangat ingin cepat pulih dan kembali ke kehidupannya yang normal, ia paham bahwa proses ini membutuhkan waktu dan kesabaran. Setelah perawat itu keluar dari kamar, Hana kembali termenung, mengingat kejadian-kejadian yang terjadi selama masa rawat inapnya.

Ia mengambil ponselnya dari meja samping tempat tidur. Ada pesan dari mamahnya, yang saat ini sedang berada di luar kota karena pekerjaannya sebagai perawat. "Maaf, Nak, Mamah belum bisa pulang. Tapi Mamah janji akan segera kembali begitu bisa. Mamah bangga kamu kuat. I love you." Pesan singkat itu membuat senyum Hana muncul kembali. Meskipun mamahnya tidak selalu hadir secara fisik, dukungan emosional yang ia berikan tidak pernah kurang.

Seketika, pintu kamar terbuka lagi. Kali ini, wajah yang muncul adalah papahnya, yang jarang bisa meluangkan waktu karena profesinya sebagai dokter spesialis mata. "Papah!" seru Hana dengan nada tak percaya.

Papahnya masuk dengan langkah pelan, membawa aura tenang yang selama ini selalu ia rasakan dari sosok papahnya. "Papah dengar dari Mamahmu kalau kamu mulai membaik. Jadi Papah langsung datang ingin melihat sendiri," katanya sambil duduk di samping tempat tidur Hana.

Hana merasa nyaman dengan kehadiran papahnya. Meski papahnya sering kali sibuk dengan pekerjaan, saat ini kehadirannya di sini membuat Hana merasa lebih kuat. "Aku sudah lebih baik, Pah. Aku merasa siap pulang," ucap Hana, meskipun ada sedikit keraguan di balik kata-katanya.

Papahnya menatapnya dalam-dalam, seolah bisa membaca pikiran Hana. "Jangan terburu-buru, Nak. Kesembuhan itu butuh waktu. Papah tahu kamu kuat, tapi juga penting untuk sabar." Ia menggenggam tangan Hana, memberikan rasa tenang yang begitu ia butuhkan.

Setelah berbincang beberapa saat, papahnya mulai berbicara tentang rencana setelah Hana pulih. "Kita bisa pergi berlibur bersama. Mungkin kita bisa ke tempat yang sejuk dan tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Kamu bisa istirahat dan menikmati waktu bersama keluarga. Bagaimana?" katanya dengan nada penuh harapan.

Mendengar rencana tersebut membuat hati Hana terasa hangat. "Aku suka itu, Pah. Aku rindu menghabiskan waktu dengan Papah dan Mamah." Hana mengangguk pelan, meskipun di dalam hatinya masih ada kekhawatiran mengenai proses pemulihannya. Tapi setidaknya ada hal-hal positif yang menunggunya di masa depan.

Tak lama kemudian, setelah beberapa lama berbincang, papahnya harus kembali bekerja. "Papah harus kembali, tapi ingat, Papah selalu ada di sini," katanya sambil menepuk dadanya. "Papah bangga sama kamu, Hana."

Hana hanya bisa tersenyum. Meski papahnya jarang hadir karena kesibukannya, ia tahu bahwa dukungan papahnya selalu ada, tak peduli seberapa jauh atau sibuk ia sekalipun. Hana kembali merenung setelah kepergian papahnya, merasa lebih kuat secara emosional. Ia mulai menyadari bahwa meskipun ia sering merasa sendirian, sebenarnya ia dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya, baik keluarga maupun teman-temannya.

Hari itu berlalu dengan cepat. Setelah perawat dan dokter rutin memeriksa kondisinya, Hana kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bayangan untuk kembali ke sekolah, menjalani hari-hari biasa, kembali bersosialisasi dengan teman-teman, dan menjalankan aktivitasnya muncul di benaknya. Namun di sisi lain, ada juga ketakutan akan menghadapi dunia luar setelah semua ini berlalu.

Proses penyembuhan bukan hanya tentang pemulihan fisik, tetapi juga tentang bagaimana dirinya menghadapi tantangan emosional yang datang bersamaan dengan cobaan ini. Rasa sakit, luka, dan trauma yang ia alami akan membutuhkan waktu untuk sembuh sepenuhnya. Tapi Hana tahu, dengan dukungan keluarga dan teman-temannya, ia bisa menghadapinya.

Menjelang malam, Hana duduk di tempat tidurnya, menatap jendela. Hujan telah sepenuhnya berhenti, dan langit yang cerah mulai muncul. Ia menghirup udara malam yang segar, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Hana merasa benar-benar tenang. Dunia di luar sana mungkin penuh dengan kesulitan, tapi ia kini tahu bahwa ia tidak perlu menghadapinya sendirian.

Saat perawat datang untuk mematikan lampu kamar dan meninggalkan Hana untuk beristirahat, gadis itu menutup matanya, berdoa dalam hati. Doanya bukan lagi tentang kesembuhan fisik semata, melainkan tentang kekuatan batin untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Ia merasa lebih siap, lebih kuat, dan lebih damai.

Beberapa hari kemudian, Hana akhirnya diizinkan pulang. Meskipun masih harus melakukan perawatan di rumah, langkah pertama menuju kebebasan terasa begitu menyenangkan. Kembali ke rumah bukan hanya berarti kembali ke tempat yang akrab, tetapi juga kembali ke kehidupan yang penuh tantangan. Namun, kali ini, Hana tidak lagi merasa takut.

Di rumah, ia disambut hangat oleh keluarganya. Mamah, yang akhirnya bisa pulang dari pekerjaannya, memeluknya erat begitu Hana masuk ke dalam rumah. "Selamat datang di rumah, Sayang," ucap mamahnya sambil menyeka air mata haru yang mulai mengalir di pipinya.

Farel, kakaknya, juga ada di sana. Ia membantu membawa tas Hana ke dalam kamar dan dengan wajah penuh senyum berkata, "Kita semua bangga sama kamu, Hana. Kamu kuat sekali."

Hari-hari ke depan mungkin masih dipenuhi dengan perjuangan, tapi Hana tahu bahwa ia tidak perlu melalui semua itu sendirian. Ia memiliki keluarga dan teman-teman yang selalu mendukungnya, serta kekuatan baru yang tumbuh di dalam dirinya. Dan untuk pertama kalinya, Hana merasa bahwa segala cobaan yang ia alami hanyalah batu loncatan menuju masa depan yang lebih cerah.

Tempat Kita BerlabuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang