Chapter 8: Hari Minggu yang Berbeda

12 1 0
                                    

Minggu pagi selalu memberikan angin segar bagi Hana. Setelah seminggu penuh berkutat dengan pelajaran, kelas les, dan perasaan tertekan akibat situasi di sekolah, akhirnya tiba hari di mana ia bisa sedikit melupakan semuanya. Udara di luar rumah terasa sejuk, dan sinar matahari yang cerah membuat pagi itu semakin menyenangkan. Untuk sesaat, Hana bisa melupakan semua kesedihan yang membebani pikirannya.

Hari ini, Hana tidak sendirian. Ia menghabiskan waktu di alun-alun kota bersama sepupunya, Mba Fitri, dan dua teman baiknya, Fani dan Eva. Alun-alun di Minggu pagi selalu ramai oleh pedagang makanan, mainan anak-anak, dan berbagai macam pernak-pernik. Orang-orang berlalu lalang menikmati suasana yang penuh semangat, ada yang berbelanja, berolahraga, atau sekadar berjalan-jalan bersama keluarga. Suasana ini membuat Hana sejenak lupa akan masalah yang menumpuk di sekolah dan rumah.

"Senang banget ya kalau alun-alun kayak gini," ujar Fani sambil menggigit es krimnya. Pipinya memerah terkena panasnya matahari, namun senyum di wajahnya menunjukkan betapa ia menikmati hari itu.

"Iya, ramai banget. Di sini tuh selalu seru," tambah Eva yang sibuk memilih gelang-gelang warna-warni dari seorang pedagang. Matanya berbinar-binar melihat aneka pernak-pernik yang dijajakan, seolah tak mau ketinggalan satu pun barang menarik.

Hana tertawa kecil, merasa lega dan bebas untuk sesaat. Bersama teman-teman, ia menikmati jajanan seperti siomay, es krim, dan pernak-pernik kecil lainnya. Sambil berjalan santai, mereka saling bercanda, tertawa, dan berbicara tentang hal-hal sepele. Untuk beberapa jam, Hana berhasil melupakan segala masalah di sekolah, termasuk pertengkaran dengan teman-temannya yang dipicu oleh gosip Rahayu, serta tekanan dari les tambahan yang harus ia ikuti. Rasanya nyaman berada di luar, jauh dari beban yang menumpuk di kepala.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Setelah mereka selesai berjalan-jalan, Hana kembali ke rumah dengan perasaan sedikit lebih segar. Tetapi, saat ia hendak masuk ke pintu depan, Tante Yana, tetangga yang tinggal di sebelah rumah, muncul dengan wajah yang agak tegang.

"Hana, jangan masuk dulu ke rumah. Kamu ke rumah Tante aja dulu, ya," ucap Tante Yana lembut, tetapi ada ketegasan dalam suaranya yang membuat Hana merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Hana merasa ada firasat buruk. Ini bukan pertama kalinya Tante Yana menyuruhnya untuk tinggal di rumah sebelah ketika terjadi sesuatu di rumah. Dengan hati cemas, Hana mengikuti Tante Yana masuk ke ruang tamu, duduk di sofa sambil berusaha mendengarkan suara samar-samar dari rumahnya. Tidak lama, suara pertengkaran orangtuanya terdengar jelas dari balik dinding.

Pertengkaran itu tidak asing lagi bagi Hana. Ia sudah terbiasa mendengarnya. Setiap minggu, setiap bulan, bahkan mungkin hampir setiap hari, orangtuanya selalu bertengkar. Kali ini pun, meski Hana tidak tahu penyebabnya, pertengkaran mereka tetap terasa berat di hati. Ia duduk diam, tak mampu berbuat apa-apa, hanya menunggu hingga semuanya mereda.

Satu jam kemudian, ketika suasana di rumah kembali tenang, Hana pulang dengan langkah ragu. Ia membuka pintu dengan perlahan, berusaha tidak membuat suara. Di dalam, mamahnya terlihat sedang duduk di meja makan, menatap kosong ke arah luar jendela. Sementara papahnya ada di ruang tamu, menonton televisi dengan volume yang sedikit lebih keras dari biasanya. Keheningan yang ada di rumah terasa lebih mencekam daripada suara pertengkaran tadi.

Sore harinya, dalam upaya untuk memperbaiki suasana, orangtuanya mengajak Hana pergi ke mall. Hana, yang awalnya berpikir bahwa ini mungkin kesempatan untuk melupakan masalah sejenak, mengikuti ajakan itu dengan harapan kecil bahwa mungkin saja kali ini mereka bisa menikmati waktu bersama tanpa ada masalah.

Setibanya di mall, suasana awalnya terasa tenang. Mamahnya sibuk memilih barang-barang keperluan rumah tangga, sementara papahnya menunggu di dekat pintu toko, terlihat mulai bosan.

"Berapa lama lagi sih?" keluh papahnya dengan nada jengkel. "Aku capek nunggu."

"Aku lagi milih barang-barang penting untuk rumah. Kenapa sih gak bisa sabar sedikit aja?" jawab mamahnya, nadanya mulai tinggi.

Hana, yang sudah menduga apa yang akan terjadi, hanya bisa terdiam. Ia melihat pertengkaran itu mulai lagi, kali ini di tengah keramaian mall. Mereka beradu argumen tentang hal yang sepele—sekadar tentang makan di mana atau apakah mereka harus makan dulu sebelum berbelanja. Namun, seperti biasa, masalah kecil ini selalu menjadi besar ketika kedua orangtuanya terlibat.

"Ayo kita makan dulu biar gak capek!" kata papahnya dengan suara yang makin keras.

"Makan nanti aja setelah belanja. Kita harus selesaikan dulu belanja ini!" jawab mamahnya tak kalah tegas.

Orang-orang di sekitar mulai melirik mereka, membuat Hana semakin malu. Ia menundukkan kepalanya, berharap bisa menghilang dari pandangan orang-orang. Berjalan di belakang kedua orangtuanya yang terus berdebat, Hana merasa semakin jauh dari harapannya akan kedamaian. Kapan terakhir kali keluarganya bisa bersama-sama tanpa bertengkar? Rasanya sudah sangat lama.

Pertengkaran berlanjut sepanjang waktu mereka di mall. Bahkan ketika mereka akhirnya duduk di food court, ketegangan masih terasa di udara. Makanan yang ada di depan mereka hanya menjadi hiasan, tidak ada yang berselera untuk menikmatinya.

Setelah akhirnya kembali ke rumah, Hana segera berlari ke kamarnya. Ia melemparkan diri ke tempat tidur, menatap langit-langit kamar sambil menghela napas panjang. Perasaan lelah, kecewa, dan kesepian bercampur menjadi satu. Di sekolah, teman-temannya menjauhi karena pengaruh Rahayu, dan di rumah, ia harus menghadapi pertengkaran orangtuanya yang tak ada habisnya.

Namun, di tengah kesedihan itu, Hana mencoba mengingat kebersamaan pagi tadi bersama Mba Fitri, Fani, dan Eva di alun-alun. Setidaknya, ada saat-saat kecil yang bisa ia syukuri. Meski singkat, saat-saat itu mengajarkannya bahwa ada kebahagiaan yang bisa ia ciptakan sendiri, meskipun dunia di sekitarnya terasa kacau.

Dalam hatinya, Hana tahu bahwa hidupnya tidak akan selalu mudah. Tapi ia juga tahu, ada kekuatan yang ia miliki, kekuatan untuk tetap tersenyum meski hari-hari terasa sulit. Dan kekuatan itu, meski tak selalu muncul, selalu ada di sana—menemani setiap langkahnya.

Saat malam tiba, Hana duduk di depan meja belajarnya. Ia membuka buku harian yang sudah lama tidak disentuhnya. Tangannya mulai menulis, mengungkapkan segala perasaan yang selama ini ia simpan di dalam hatinya. Ia menulis tentang kebahagiaan kecil yang ia rasakan pagi tadi, tentang perasaan terjepit di tengah pertengkaran orangtuanya, dan tentang kesepiannya di sekolah.

Menulis selalu menjadi pelariannya. Di saat-saat sulit, Hana menemukan ketenangan dalam menuliskan isi hatinya. Setiap kata yang dituliskannya seolah menjadi teman yang mendengarkan, tanpa menghakimi, tanpa menyela.

"Mungkin suatu hari, semua ini akan berubah," tulisnya di akhir kalimat. "Mungkin suatu hari, aku akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya."

Setelah menutup buku hariannya, Hana merasa sedikit lebih ringan. Meskipun masalahnya belum selesai, menulis selalu memberinya kekuatan untuk bertahan. Ia tahu, hari esok mungkin tidak akan lebih mudah, tetapi ia siap untuk menghadapi apa pun yang datang. Dengan kekuatan yang ia temukan dalam dirinya, Hana berjanji untuk terus melangkah maju, apapun yang terjadi.

Tempat Kita BerlabuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang