Chapter 3: Takut Sendiri

12 2 0
                                    

Sekolah sudah benar-benar sepi. Suara tawa anak-anak yang biasanya memenuhi halaman kini hanya tinggal kenangan, lenyap bersama bayangan langkah mereka yang berlalu. Hana duduk sendirian di bangku panjang dekat gerbang sekolah, memandangi satu per satu temannya pulang dijemput oleh orangtua mereka. Sore hari semakin menjelang, dan suasana sekolah menjadi semakin lengang. Hati Hana mulai terasa berat. Seperti biasa, ia adalah salah satu anak yang terakhir dijemput. Tapi kali ini, entah kenapa, waktu terasa lebih lama, dan tidak ada tanda-tanda kehadiran jemputannya.

Hana mencoba menenangkan dirinya, menghibur hati dengan berpikir bahwa omnya akan segera datang. Ia sering teringat bagaimana omnya selalu membawa permen atau snack favoritnya setiap kali menjemputnya, seolah itu adalah cara omnya untuk menghibur Hana. Namun, ketika melihat matahari semakin rendah di cakrawala dan bayangan semakin panjang, kecemasannya tak dapat dibendung. Sekolah sudah hampir kosong. Satu-satunya yang masih tersisa hanyalah seorang anak cowok yang berdiri agak jauh di seberang halaman, juga tampak menunggu jemputan.

Cowok itu tampak asing baginya, meski ia sering melihatnya di sekitar sekolah. Selalu sendiri, seperti Hana, cowok itu tidak banyak bergaul. Mereka tidak pernah bicara satu sama lain, tapi di saat ini, keberadaannya memberikan sedikit rasa aman. Setidaknya, Hana tidak sendirian di sekolah yang semakin sunyi ini.

Namun, perasaan lega itu hanya berlangsung sebentar. Tiba-tiba, Hana melihat cowok itu mulai berjalan pergi. Hatinya langsung berdegup kencang. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Rasa takut mulai merayap di pikirannya, membayangi dengan kemungkinan-kemungkinan yang menakutkan—bagaimana jika ia ditinggalkan sendirian? Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi?

Tanpa pikir panjang, Hana memutuskan untuk mengikuti cowok itu. Ia melangkah cepat, menjaga jarak agar tidak terlalu terlihat, tapi cukup dekat untuk merasa aman. Hanya saja, saat ia semakin mendekat, cowok itu tiba-tiba berhenti. Hana tidak sempat menghentikan langkahnya dan tanpa sengaja menabrak punggungnya.

"Aduh!" Hana terkejut dan mundur beberapa langkah.

Cowok itu berbalik, menatapnya dengan bingung. "Ngapain kamu ngikutin aku?" tanyanya dengan nada datar, meski terlihat sedikit kesal.

Hana, yang sudah panik, berusaha tetap tenang. "Aku... aku gak ngikutin kamu."

Cowok itu mengangkat alis sejenak, lalu menghela napas dan mengangkat bahu. "Oh, gitu. Ya udah," katanya sambil berjalan lebih cepat.

Namun, Hana tetap tak bisa menahan rasa takutnya. Ia terus mengikuti, langkahnya semakin cepat. Sekali lagi, cowok itu berhenti dan berbalik. Kali ini, tatapannya lebih tajam. "Kamu ngikutin aku lagi," katanya, dengan nada yang lebih tegas.

Hana tidak bisa lagi menahan perasaannya. Air mata mulai menggenang di matanya. Rasa takut, cemas, dan kesepian yang ia pendam sejak tadi tumpah begitu saja. Tanpa ia sadari, ia mulai menangis.

Cowok itu, yang tadinya tampak kesal, kini tampak panik. "Eh, jangan nangis! Nanti aku dikira nakalin kamu," katanya dengan nada canggung, jelas bingung bagaimana menghadapi Hana yang menangis.

Dengan suara serak dan penuh isak, Hana menjawab, "Aku... aku takut sendirian. Aku takut diculik. Aku takut gak dijemput."

Cowok itu terdiam sejenak, memandang ke arah sekolah yang kini benar-benar sepi. Hanya suara angin dan dedaunan yang tersisa. Akhirnya, setelah menarik napas panjang, ia berkata, "Ya udah, jangan nangis. Kita balik ke sekolah aja. Aku tungguin kamu sampai jemputanmu datang."

Hana mengangguk lemah, merasa sedikit lega. Mereka berdua berjalan kembali ke gerbang sekolah, suasana di antara mereka kini lebih tenang meski masih penuh kecanggungan. Setibanya di bangku dekat gerbang, mereka duduk berdampingan, menunggu dalam keheningan. Waktu terasa berjalan lambat, tapi setidaknya Hana tidak lagi sendirian.

"Aku Marcel," cowok itu akhirnya memperkenalkan dirinya setelah beberapa menit hening.

Hana tersenyum kecil, masih terisak, namun mencoba mengendalikan emosinya. "Aku Hana."

Mereka berdua tidak banyak bicara setelah itu, tapi kehadiran Marcel membuat Hana merasa lebih aman. Meski tidak terlalu mengenalnya, Hana bersyukur karena Marcel bersedia menemaninya. Diam-diam, ia merasa sedikit lega bahwa setidaknya ada seseorang yang menemani di saat-saat paling menakutkannya.

"Jadi, kamu sering nunggu sendirian di sini?" tanya Marcel, berusaha mencairkan suasana di antara mereka.

"Ya, sering," jawab Hana pelan. "Tapi biasanya gak segini lama. Omku pasti sudah nyampe."

Marcel mengangguk, lalu terdiam sejenak. Ia tampak merenung seolah sedang memikirkan sesuatu yang penting. Hana merasa ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi Marcel tampak ragu.

Kemudian, suara mobil berhenti di seberang jalan, dan dari dalamnya keluar sosok yang sangat dikenali Hana. Itu omnya. "Akhirnya!" seru Hana lega, berdiri dari bangku dan bersiap menyeberang.

Namun, saat Hana berlari menuju jalan, tanpa ia sadari sebuah mobil melaju kencang dari arah berlawanan. Suara klakson keras menggetarkan udara.

"Hana, jangan!" teriak Marcel dari belakang, suaranya penuh kepanikan.

Omnya, yang baru saja melangkah keluar dari mobil, melihat bahaya itu dan langsung bereaksi. Ia berlari cepat, menarik tubuh Hana dengan sekuat tenaga ke tepi jalan. Mobil yang melintas hampir saja menabraknya—hanya selisih beberapa detik, dan kecelakaan yang mengerikan bisa saja terjadi.

Hana terdiam, shock, tidak bisa berkata-kata. Tubuhnya bergetar, tapi bukan karena lelah, melainkan karena ketakutan yang mendadak menghantamnya. Omnya memeluknya erat-erat, memastikan keponakannya baik-baik saja.

"Kamu gak apa-apa, kan?" tanya omnya dengan suara lembut tapi tegas, penuh kekhawatiran.

Hana mengangguk, meskipun air mata tak bisa lagi ia tahan. Rasanya ia baru saja melewati mimpi buruk yang begitu nyata. Sesaat kemudian, Marcel mendekat, wajahnya tampak pucat setelah melihat betapa dekatnya Hana dengan bahaya tadi.

"Lain kali jangan nyebrang sembarangan ya, Hana," omnya berkata, suaranya sedikit bergetar. "Kamu harus lebih hati-hati."

Hana mengangguk lagi, menyesal karena tindakannya yang gegabah. Ia menatap Marcel yang berdiri tak jauh, masih terlihat terkejut oleh kejadian itu. Meskipun tidak banyak bicara, tatapan Marcel mengisyaratkan bahwa semuanya sudah baik-baik saja sekarang.

"Maaf, aku jadi merepotkanmu," kata Hana pelan kepada Marcel.

Marcel tersenyum, meski masih tampak sedikit khawatir. "Gak apa-apa. Aku senang bisa bantu. Tapi kamu harus lebih berhati-hati ya."

Hana merasa hangat di hatinya mendengar kata-kata itu. Mungkin Marcel tidak tahu betapa berarti kehadirannya saat itu. Di saat Hana merasa paling sendirian dan takut, ia menemukan seseorang yang mau mendengarkan dan peduli.

Keduanya berdiri di samping om Hana, dan saat omnya menyiapkan mobil untuk pergi, Hana merasa ada ikatan baru yang terbentuk antara mereka. Mungkin ini adalah awal dari persahabatan yang tak terduga.

"Kalau kamu butuh teman, jangan ragu untuk cari aku," kata Marcel, seolah membaca pikiran Hana.

Hana tersenyum lebar. "Iya, terima kasih, Marcel. Aku akan ingat itu."

Sebelum masuk ke dalam mobil, Hana melambaikan tangan ke arah Marcel, dan ia membalas dengan senyum. Meski pertemuan mereka dimulai dengan canggung dan tak terduga, Hana tahu bahwa ia telah menemukan seorang teman.

Saat mobil melaju menjauh, Hana menatap ke arah jendela, mengingat semua yang terjadi hari itu. Rasa takutnya perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh rasa syukur dan harapan. Di tengah segala ketidakpastian, ia menyadari bahwa ia tidak sendirian. Setiap orang memiliki ketakutan dan perjuangan mereka masing-masing, dan dengan menemukan keberanian untuk membuka diri, Hana tahu bahwa ia bisa menghadapi semuanya—termasuk ketakutannya akan kesepian.

Dalam perjalanan pulang, Hana merenungkan tentang pertemanannya dengan Marcel dan bagaimana mereka bisa saling mendukung di saat-saat sulit. Ia berharap bisa lebih mengenalnya, karena terkadang, teman sejati adalah orang yang bisa kita andalkan saat kita merasa paling rentan.

Dan dengan semangat baru, Hana berjanji untuk lebih berani menghadapi hari-hari mendatang, siap untuk mengeksplorasi apa yang ada di luar sana, bahkan jika terkadang ketakutan itu datang menghampiri.

Tempat Kita BerlabuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang