Suara dengungan ini tak berhenti di telingaku. Bisikan-bisikan aneh di kepalaku juga tak kunjung reda. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi, namun satu hal yang kusadari: aku berdiri di atas gedung tertinggi yang kukenal.
Entah apa yang berkecamuk dalam pikiranku saat ini. Memikirkannya saja sudah membuatku mual. Mungkin lebih baik semuanya berakhir di sini.
Kalau bisa, aku berharap segera hilang dari dunia ini. Aku tahu ini pikiran paling bodoh, tapi justru kebodohan inilah yang terus berputar di kepalaku, tak henti-hentinya.
“Boleh tidak, tidak boleh.” Hanya kalimat itu yang berulang-ulang di benakku. Apa yang salah? Aku tak tahu.
Aku menunduk, melihat ke bawah melalui celah jemari kakiku yang mencengkeram pondasi bangunan tua ini. Ada perasaan yang sulit dijelaskan, kedua kakiku gemetar. Tangan yang mencengkram pagar pembatas semakin kaku, mulai basah oleh keringat.
Apa ini?
Rasa takut?
Bukankah sepanjang malam kemarin aku sudah membulatkan tekad untuk sampai di titik ini?
Kekacauan dalam benakku terus menghantam dengan konsistensi yang mengerikan. Rasa gelisah dan tekad beradu, membentuk kekacauan yang tak bisa kupahami. Aku bahkan tak lagi merasakan sakit saat tanganku memerah karena mencengkeram pagar terlalu kuat, atau saat gigiku menancap di bibir bawahku hingga darah pekat mengalir.
Sebuah bisikan nyaris tak terdengar menggelitik telingaku, samar-samar memerintah, “Lompat. Lompatlah cepat... maka kau takkan merasakan sakit lagi.”
Sosok itu kabur—separuh manusia, separuh entah apa. Bayangannya berkelebat seperti roh yang terperangkap antara dua dunia. Meski mungkin pilihan terburuk, aku memberanikan diri menatapnya. Suara bisikan itu kini berubah menjadi seruan burung gagak, sayap-sayap hitam berputar-putar di atasku, seolah-olah aku adalah mangsa mereka berikutnya—seonggok daging yang segera akan menjadi bangkai.
Aku melirik ke bawah. Jalanan lengang, tak banyak orang berlalu lalang. Aman? Mungkin. Aku menarik napas dalam, membulatkan tekad untuk melangkah maju. Melompat. Tubuhku siap terjun bebas dari ketinggian ini. Hawa dingin menusuk kulitku, jantungku berdetak liar, tapi aku meyakinkan diri, setelah ini... akan ada kedamaian.
“Akhirnya, aku bisa mati dengan tenang,” bisikku dalam hati. Nafasku perlahan menguap dalam udara dingin. Namun suara gagak itu semakin keras di kepalaku, berputar-putar seperti ejekan yang menggema di telinga.
Lalu—samar-samar, di tengah dengung hitam gagak, aku mendengar sesuatu. Suara burung merpati? Hanya sesaat, sebelum suara lain datang—teriakan keras, membelah keheningan.
Sebuah tangan mencengkeram pergelangan tanganku, kuat, menghentikan tubuhku yang hampir jatuh ke kehampaan.
Kulihat sosok itu—seorang pria sebaya denganku, mungkin sedikit lebih tua. Dia tampak tegang, kedua tangannya gemetar saat mencengkram pergelangan tanganku, berusaha menahan tubuhku yang sudah setengah terjuntai di tepian gedung.
Di saat yang sama, aku hanya terdiam. Tak ada perlawanan, tak ada upaya untuk bertahan. Tujuanku jelas: mengakhiri semuanya, bukan untuk diselamatkan.
Tak lama kemudian, suara teriakannya membelah keheningan menjelang malam, menggema dengan nada yang nyaris pecah.
“Hei! Kau gila? Lompat dari gedung? Apa kau ingin mati, hah?”
Aku hanya mengangguk pelan. Responku yang datar tampaknya membuatnya semakin geram. Dia mendengus, ekspresinya tak bisa menyembunyikan amarah yang bercampur dengan keputusasaan.
“Ya Tuhan! Kau serius?! Cepat raih tanganku dan panjat ke sini!” pekiknya, kali ini lebih panik. Tangannya meraihku lebih kuat, meski wajahnya jelas menunjukkan rasa sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
COLORFUL
Acak"Aku hidup, tapi seolah sudah mati." Waktu bergerak, namun kehidupan ini terasa begitu lamban dan hampa. Bukan hanya kebosanan yang menghantui, ada sesuatu yang jauh lebih dalam-sesuatu yang menekan setiap inci perasaanku. Mati rasa. Mungkin lebih b...