Hari itu, suasana sekolah sedang ramai seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda bagi Feni. Sebagai murid yang dikenal paling pintar di sekolah, terutama dalam mata pelajaran matematika, nama Feni sudah sering menjadi sorotan guru-guru. Tidak heran jika baru-baru ini, ia ditawari untuk ikut Olimpiade Matematika tingkat nasional.
Tawaran besar yang membuat banyak orang iri, tapi Feni justru merasa tidak terlalu antusias.
Feni duduk di bangku depan kelas sambil memandangi kertas undangan resmi dari kepala sekolah yang mengajaknya untuk bergabung dalam tim olimpiade. Dengan wajah datar, ia hanya menatapnya sambil bermain-main dengan ujung rambutnya. Bukan karena ia tidak mampu, tapi lebih karena dia merasa olimpiade seperti ini selalu datang dengan tanggung jawab yang besar.
Feni bukan tipe orang yang suka dikekang oleh beban besar seperti itu.
Di saat yang sama, ada satu hal yang bikin dia bimbang karena guru pembimbing untuk olimpiade ini adalah Shani, kekasihnya yang perhatian dan selalu sabar. Feni tahu betul Shani adalah orang yang tidak pernah memaksakan kehendak, apalagi kepada dirinya. Tapi karena rasa sayangnya, Feni memilih untuk menerima tawaran ini—setidaknya untuk sementara waktu—dan memanfaatkan momen ini untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersama Shani.
Hari pertama bimbingan di ruang guru.Feni datang dengan gaya santainya yang biasa. Rambutnya diikat setengah, seragam rapi, tapi wajahnya tetap menunjukkan bahwa ia tidak begitu antusias dengan semua ini. Di ruang guru, Shani sudah menunggunya, duduk di kursi meja kerjanya sambil mempersiapkan materi.
Shani menyambut Feni dengan senyum lembut, seperti biasa.Shani: "Hai Mpen, siap buat sesi bimbingan hari ini?"
Feni hanya mengangguk sambil duduk di kursi seberang meja Shani. Tatapannya kosong, tapi ada senyum kecil yang terselip.Feni: "Iya, siap kok. Tapi lebih siap buat liat kamu aja sih."
Shani tertawa kecil, lalu menggoyangkan kepalanya pelan.Shani: "Aduh Mpen, ini serius. Kita harus fokus, Olimpiadenya nggak lama lagi."
Tapi Feni bukannya serius, malah makin mendekat dengan tatapan nakal. Dia menaruh sikunya di meja, menopang dagu, dan menatap Shani sambil tersenyum iseng.Feni: "Iya, tapi serius deh, aku di sini karena Cici, Aku cuman mau deket-deket sama Cici."
Shani menghela napas sambil tersenyum geli.Shani: "Kamu tuh ya, bisa banget bikin situasi serius jadi santai kayak gini. Tapi, yaudah deh. Aku tahu kok, kamu nggak terlalu antusias sama olimpiade ini. Tapi kalau bisa, fokus dulu ya hari ini."
Feni meringis. Dia tahu Shani benar. Tapi, seperti biasa, sifat jahil Feni tidak bisa ditahan. Ia malah mengambil kesempatan itu untuk menggoda Shani lebih jauh.Ketika Shani sibuk menyiapkan buku dan soal latihan di mejanya, Feni tiba-tiba berdiri dan berjalan mendekati Shani. Dengan langkah pelan, dia berdiri tepat di belakang Shani, lalu memeluknya dari belakang. Shani terkejut sejenak, tapi dia tidak bisa menahan senyum melihat betapa jahilnya Feni.Feni: "Ci, aku kan bilang, aku di sini cuma buat kamu. Latihan matematikanya belakangan aja ya."
Shani tertawa kecil sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Feni, tapi Feni justru memeluknya lebih erat, kepalanya menyandarkan di bahu Shani sambil menciumi lehernya.Shani: "Feni, ini ruang guru, kamu tuh jangan macam-macam. Bisa-bisa nanti ada guru lain yang liat, repot nanti."
Feni mendengus pelan, lalu berbisik di telinga Shani.Feni: "Biarin aja, aku nggak peduli kalaupun mereka tau."
Shani akhirnya tertawa, lalu menggeleng-gelengkan kepala. Feni memang selalu tahu cara membuatnya kehilangan kata-kata.Shani: "Kamu tuh, nakalnya nggak abis-abis ya. Tapi serius deh, kita harus belajar dulu. Kalau nggak, nanti kamu bakal kesulitan pas lomba."
Feni akhirnya melepaskan pelukan dan duduk lagi di kursinya, tapi tatapan isengnya masih tidak hilang.Feni: "Iya, iya. Aku bakal belajar, tapi kalau ada waktu, aku bakal gangguin kamu lagi."
Beberapa minggu kemudian...Setelah beberapa kali sesi bimbingan bersama Shani, Feni mulai merasa semakin yakin dengan perasaannya sendiri. Dari awal, dia memang tidak berniat mengikuti olimpiade ini dengan serius.
Baginya, ini hanya alasan untuk lebih dekat dengan Shani. Tapi, setiap kali melihat Shani yang sabar mengajarinya dengan penuh perhatian, Feni jadi merasa sedikit bersalah.
Satu hari setelah sesi terakhir, Feni akhirnya memutuskan untuk jujur.Feni mendekati Shani yang sedang membereskan buku-buku di meja kerjanya. Dengan raut wajah yang lebih serius dari biasanya, Feni memulai percakapan.Feni: "Ci, aku mau ngomong sesuatu."
Shani menoleh dan menatap Feni, tahu betul bahwa kali ini Feni tidak sedang bercanda.Shani: "kenapa, Mpen? tumben banget."
Feni menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan.Feni: "Sebenarnya, aku nggak ada niat buat ikut olimpiade ini dari awal. Aku cuma ikut bimbingan karena... ya, aku mau lebih sering ketemu kamu. Aku tahu, ini tanggung jawab besar, dan aku nggak mau bikin kamu kecewa. Tapi aku juga nggak bisa memaksakan diri untuk sesuatu yang nggak benar-benar aku mau."
Shani mendengarkan dengan sabar, wajahnya tidak menunjukkan rasa kecewa sedikit pun. Dia malah tersenyum lembut, dan mengusap pelan pipi Feni.Shani: "Aku ngerti, Mpen. Aku udah tahu dari awal kalau kamu nggak terlalu tertarik sama olimpiade ini. Tapi aku nggak akan maksa kamu untuk ikut kalau kamu nggak mau. Kamu berhak memilih apa yang bikin kamu nyaman."
Feni terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil.Feni: "Kamu selalu ngerti aku, ya. Itu yang aku suka dari kamu, Ci. Kamu nggak pernah maksa apa pun, selalu sabar, dan selalu dukung aku."
Shani hanya tertawa kecil sambil menatap Feni dengan penuh kasih sayang.Shani: "Aku sayang kamu, Fen. Apapun yang kamu pilih, aku bakal selalu dukung. Yang penting kamu bahagia, itu yang paling penting buat aku."
Mereka pun saling berpelukan dengan penuh cinta dan kasih sayang.Feni merasa hatinya hangat mendengar kata-kata Shani. Dia tahu, meskipun dia tidak mengikuti olimpiade, cinta dan dukungan dari Shani tidak akan berubah sedikit pun. Dan itu yang membuat Feni merasa semakin yakin dengan pilihannya.Feni: "Makasih ya Ci. Aku nggak tahu lagi gimana jadinya hidup aku kalau nggak ada kamu, Gita dan Gracia."
Shani tersenyum lagi, lalu meraih tangan Feni dengan lembut.Shani: "Kita selalu punya satu sama lain, Fen. Dan itu udah lebih dari cukup."Dengan perasaan lega dan bahagia, Feni akhirnya memutuskan untuk fokus pada hal-hal yang ia sukai, tanpa merasa terbebani oleh ekspektasi orang lain.
Bersama Shani, Gita, dan Gracia, dia tahu bahwa apa pun yang terjadi, cinta mereka selalu ada untuk mendukungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONE SHOOT JKT48
RomanceMerupakan cerita OneShoot Member JKT48 Kapal-Kapalan (GxG Area - Dilarang membawa cerita ke RL) (Silahkan berdonasi jika ingin request https://saweria.co/Revenbrox )