..
Khaotung membuka pintu rumah dan mengernyit saat bau anyir darah menusuk hidungnya. Panik saat mendapati jejak kaki berdarah di lantai yang semakin lama semakin sedikit, ia menjatuhkan barang bawaannya begitu saja membuat Poom di belakangnya langsung siaga dan berjalan lebih dulu.
"Tuan?" Suara kaget Poom membuat Khaotung mempercepat langkahnya menuju dapur dan tercekat saat melihat sosok First yang shirtless dengan sayatan pisau di dekat dada dan kaki yang terdapat bercak darah.
"Sudah pulang?" First bertanya santai, duduk dan meneguk sebotol mineral dingin. "Kulkas masih kosong, belanjalah besok, kartuku sudah aku taruh di atas meja kamar dari dua minggu lalu."
"Kau kenapa?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja.
"Poom, kau bisa beristirahat." First memberi titah dan Poom hanya mengangguk sebelum berlalu pergi.
"Kau kenapa?" Tanya Khaotung lagi. Tangannya dengan cepat meraih kotak P3K dan sebaskom kecil air.
First tidak menjawab, membiarkan Khaotung menyeka luka di dadanya dengan air bersih sebelum mengoleskannya dengan obat luka. Ia tidak meringis, hanya menatap diam wajah panik Khaotung yang fokus mengobati lukanya.
"Jangan membuatku jantungan, aku kira ada mayat atau pencuri yang masuk kesini," Khaotung merutuk. "Kau bertengkar dengan siapa?"
"Bukan urusanmu," Jawab First datar.
"Urusanku, kita sudah menikah."
"Terpaksa, jangan berbicara seolah-olah kita menikah karena saling cinta atau apapun itu." Balas First sinis.
"Masalahmu ini apa sebenarnya?" Khaotung menekan luka First dengan kapas, membuat First sedikit meringis. "Aku bertanya baik-baik, sebagai manusia. Setidaknya jawab aku dengan jelas."
"Aku menangkap preman yang mencoba merusak wilayah yang aku jaga dan ternyata dia membawa banyak orang sementara aku hanya berdua. Hal seperti ini sudah biasa jadi biasakan saja dirimu. Selama aku belum sekarat di rumah sakit berarti aku baik-baik saja."
Khaotung tidak menjawab, sudah malas membantah.
Lagipula First benar, pria itu pasti sering terlibat perkelahian melihat banyaknya bekas sayatan di dekat perut dan lebam-lebam yang belum hilang di dekat dada.
"Kalau luka-luka seperti ini sebaiknya jangan pulang." Khaotung mengatakan kalimat itu dengan nada dingin sebelum berlalu pergi meninggalkan First sendiri bersama obat-obatan yang berantakan.
Mood Khaotung benar-benar buruk.
.
.
.
Pintu kamar terbuka, First memasuki kamar mereka setelah mandi di lantai bawah. Ia melirik ke arah Khaotung yang tampak tidak terganggung, duduk bersender di kepala ranjang sembari membaca naskah dengan telinga yang di sumpal earphone.