Suara deruan nafas terdengar di ruangan besar yang di dominasi bau anyir darah itu. Di tengah-tengah ruangan, First berdiri dengan beberapa luka di tubuhnya. Ia menatap sekumpulan orang-orang yang tergeletak di lantai, mengambil sesuatu lalu berjalan mendekati ayahnya yang hanya berdiri diam sedari tadi di sudut ruangan.
"Kerja bagus," Sang Ayah menepuk pundaknya, mengulas sebuah senyum kepuasan dan mengambil sesuatu yang di berikan First.
"Perlu ku panggil polisi agar mereka mendekam di penjara?"
"Tidak perlu, Gawin sudah mengurus semuanya. Bawalah mobil, aku akan mengantarmu pulang."
.
.
.
.
"Astaga!" Suara panik itu menyambut First dan Ayahnya. Khaotung dengan sigap menarik First ke ruang tengah dan mendudukkannya paksa lalu berlalu ke dapur untuk mengambil air hangat dan obat luka.
"Dia masih belum terbiasa?" Ayah Ma bertanya, duduk dan menyalakan televisi.
"Biasanya kalau luka-luka aku pulang ke Ohm, aku tidak suka pulang dan mendapat ceramah." First membuka kaosnya.
"Ayah, aku buatkan teh lemon." Khaotung datang dengan dua gelas teh dan menaruhnya di atas meja lalu beranjak lagi untuk mengambil perlengkapan yang tertinggal.
"Khao, aku lebih suka kopi." Ayah Ma membuka suara.
"Sudah terlalu malam, Ayah minum ini dulu saja ya, besok pagi aku buatkan kopi hitam. Ayah menginap kan?" Khaotung bertanya sembari membasuh tubuh First dengan handuk basah.
"Tidak tidak, Gawin akan menjemputku nanti. Aku cuma ingin mampir sebentar dan melihat kehidupan kalian."
"Kami baik-baik saja, menginap saja malam ini." Khaotung tersenyum kecil. Ia menatap hangat Ayah Ma. Walau berbadan besar dan berwajah seram, tapi tidak bisa di pungkiri kalau laki-laki itu juga memiliki sisi yang baik dan penyayang. Bahkan kalau boleh jujur, Khaotung lebih nyaman bercerita dengan Ayah Ma di banding Ayahnya sendiri.
"Menginap sesekali Yah, kita bisa bergadang menonton bola." First menyahut.
"Baiklah kalau kalian memaksa." Ayah Ma menyesap teh lemon buatan Khaotung dan tersenyum samar. "Sudah lama tidak merasakan suasana seperti ini ya First."
First hanya mengangguk kecil, tidak bersuara dan Khaotung memperhatikan itu.
"Kemarin Ayah Khaotung datang diam-diam saat Khaotung sedang di tempat syuting." Ucapan First itu seketika membuat suasana berubah. Ayah Ma kembali memasang wajah serius, menatap Khaotung dengan kening berkerut.
"Apa yang dia katakan padamu?"
"Dia menyuruhku memegang perusahaan dan berhenti menjadi aktor. Ayah dari dulu memang begitu jadi aku sudah tidak heran. Dari dulu dia sangat menentang keinginanku menjadi aktor." Khaotung tersenyum lirih, masih telaten mengobati luka-luka di tubuh First.
"Kau tidak perlu mendengarkan Ayahmu jika kau memang tidak mau. Kau sudah menikah dengan anakku, sepenuhnya keluargaku yang bertanggung jawab atas dirimu. Masalah kau ingin menjadi aktor atau tidak, itu diskusikan dengan First. Masalah hutang keluargamu itu urusan kakek dan Ayahmu."
Khaotung tidak menjawab, hanya tersenyum kecil dan mengangguk.
"Memangnya apa yang salah dengan pekerjaanmu sekarang?" Tanya First.
"Alasan utamanya Ayah mau aku fokus di bisnis keluarga karena satu-satunya syarat aku menjadi penerus kalau aku memiliki keturunan dan aku memang bekerja di perusahaan kami. Alasan lainnya karena menurut Ayahku menjadi aktor tidak memiliki masa depan yang pasti dan kehidupan pribadiku sering di ekspos sementara dia benci kalau ada rumor jelek tentangku bertebaran di media."