Senja mulai merambat turun, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Di bawah pohon akasia yang rimbun di taman sekolah, aku duduk sendirian sambil memainkan helai-helai rumput di sekitarku. Hari itu, ada sesuatu yang terasa berbeda. Sejak pagi, firasatku mengatakan bahwa sesuatu akan terjadi. Namun, aku tak tahu apa tepatnya.
"Ada apa, Ka?" suara seseorang tiba-tiba terdengar, membuatku menoleh.
Itu Oniel, sahabatku sejak kelas satu. Rambutnya yang sedikit acak-acakan dan senyumnya yang khas selalu berhasil membuat suasana jadi lebih ringan. Dia duduk di sebelahku tanpa permisi, seperti biasa. Oniel selalu seperti itu-bebas, tanpa beban, dan selalu hadir di saat yang tak terduga.
"Nggak ada apa-apa," jawabku sambil tersenyum kecil.
Oniel mengangkat alis, seakan-akan tak percaya dengan jawabanku. "Beneran? Kamu kelihatan mikir keras dari jauh tadi."
Aku tertawa kecil. "Cuma nunggu senja. Kamu sendiri kenapa tiba-tiba ke sini?"
Oniel terdiam sejenak, tatapannya menelusuri langit yang mulai gelap. "Aku... cuma ingin ngobrol. Ada sesuatu yang pengen aku bilang."
Aku menatapnya dengan penuh tanda tanya. Oniel memang selalu spontan, tapi kali ini nadanya terdengar lebih serius dari biasanya.
"Apa?" tanyaku pelan, penasaran dengan apa yang akan dia katakan.
"Ka, kita udah lama banget jadi sahabat, kan?" Oniel mulai dengan kalimat yang terasa seperti pembuka cerita panjang. Aku hanya mengangguk. "Dan selama itu, aku selalu berpikir kalau kita akan selalu seperti ini-berdua, tanpa ada yang berubah."
Aku masih tak mengerti arah pembicaraannya, tapi aku membiarkan dia melanjutkan. Oniel menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan.
"Aku nggak tahu kapan tepatnya, tapi... aku mulai ngerasa berbeda, Ka. Aku nggak tahu gimana bilangnya, tapi yang jelas, aku nggak cuma ngeliat kamu sebagai sahabat lagi."
Hatiku berdebar mendengar kalimatnya. Oniel, sahabatku yang selalu ceria dan apa adanya, kini terlihat begitu serius dan rapuh. Aku menatapnya dalam-dalam, mencoba menangkap maksud dari kata-katanya.
"Ka, aku suka sama kamu. Lebih dari sekadar sahabat," lanjutnya pelan, seolah takut dengan reaksiku.
Dunia seakan berhenti berputar sejenak. Kata-katanya menggantung di udara, dan aku butuh beberapa detik untuk mencerna semuanya. Oniel... menyukaiku?
Aku menunduk, mencoba menyembunyikan wajahku yang tiba-tiba memerah. Rasanya campur aduk, antara terkejut, senang, dan bingung. Selama ini, aku tak pernah memikirkan hal itu. Oniel selalu ada, selalu hadir sebagai sahabat terbaik yang bisa aku miliki. Tapi perasaannya yang baru saja diungkapkan membuat segalanya terasa berbeda.
"Ka?" panggilnya pelan.
Aku mengangkat wajah, dan di sana, aku melihat Oniel dengan tatapan yang lembut dan penuh harapan. Tiba-tiba, aku menyadari bahwa mungkin, di dalam hatiku, aku juga merasakan hal yang sama.
"Aku nggak tahu, Niel," jawabku jujur. "Aku butuh waktu buat mikirin ini."
Oniel tersenyum tipis. "Nggak apa-apa. Aku cuma pengen kamu tahu. Apa pun yang kamu rasain, aku tetap akan ada di sini. Sebagai sahabat... atau lebih dari itu, kalau kamu siap."
Aku mengangguk pelan. Senja sudah hilang, berganti dengan langit malam yang bertabur bintang. Di bawah pohon akasia itu, aku dan Oniel memulai sebuah babak baru dalam cerita kami-sebuah awal yang mungkin akan mengubah segalanya.
...