Elegi Rindu untuk Oniel

97 12 0
                                    

Indah memejamkan matanya, membiarkan hembusan angin sore yang sejuk menenangkannya sejenak. Di bangku taman yang sama, di sudut kota kecil yang kini terasa lebih sunyi, ia mengenang masa-masa bersama Oniel. Langit jingga yang perlahan berubah menjadi abu-abu selalu mengingatkannya pada sosok pria yang diam-diam masih menghuni hatinya. Oniel, pria yang tak sengaja masuk ke dalam hidupnya, namun kini terasa begitu jauh.

Pertemuan pertama mereka terjadi secara tak terduga, bahkan bisa dibilang konyol. Indah, dengan kameranya yang selalu tergantung di leher, sedang asyik memotret lukisan di sebuah pameran seni ketika ia menabrak seseorang hingga hampir jatuh. “Astaga, maaf!” serunya sambil mencoba menahan kameranya agar tidak jatuh.

Pria itu—Oniel—tersenyum kikuk. “Tenang saja, aku masih utuh, kok. Tapi kalau kameramu jatuh, aku yang pusing bayarnya.”

Indah mendongak, menatap pria itu. Wajahnya teduh, dengan mata yang tampak sedikit bingung. Sejenak mereka berdua tertawa, menghapus kecanggungan. Dari sana, obrolan ringan pun dimulai, dan mereka menemukan kesamaan—kecintaan pada seni. Indah yang seorang fotografer amatir merasa menemukan teman bicara yang nyambung. Sementara Oniel, seorang pelukis pemalu, tampak senang menemukan seseorang yang bisa memahami kecintaannya pada dunia warna.

Hari demi hari, mereka semakin dekat. Oniel sering mengajak Indah ke studio kecilnya yang berantakan, penuh cat dan kanvas yang separuh jadi. Di sana, mereka sering duduk bersama—Indah dengan kameranya, Oniel dengan kuasnya. Kadang, Indah berlagak jadi kritikus seni. “Menurutku, lukisan ini terlalu... biru. Kayak hati orang yang habis ditinggal pergi,” godanya, membuat Oniel hanya tertawa kecil.

“Biru itu tenang, Indah. Seperti kamu,” jawab Oniel suatu kali, membuat pipi Indah memerah tanpa bisa ia cegah.

Lulu dan Olla, dua sahabat terdekat Indah, tak pernah berhenti menggoda hubungan mereka. “Kamu tuh kayak cat air, Indah. Lembut dan menyerap semuanya. Tapi hati-hati, jangan sampai luntur,” kata Olla sambil tertawa lepas, membuat Lulu ikut terkikik.

“Maksudnya jangan sampai baper banget, gitu?” balas Indah sambil melempar tatapan sebal pura-pura pada Olla, walau dalam hati ia tahu bahwa Olla ada benarnya. Oniel bukan tipe pria yang mudah ditebak. Kadang ia terasa begitu dekat, tapi di saat lain, ia tampak seperti menyimpan jarak yang tak terjangkau.

Namun begitu, hari-hari dengan Oniel terasa sempurna. Ada kebahagiaan yang sederhana setiap kali mereka duduk bersama di kafe kecil di dekat studio. Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang seni, impian, dan hidup. Oniel seringkali serius, tapi di antara obrolan itu selalu ada candaan-candaan kecil yang membuat Indah tak berhenti tersenyum.

Suatu hari, mereka berbicara tentang impian terbesar mereka. Oniel dengan lugas berkata, “Aku ingin pameran tunggalku sendiri di luar negeri. Mewakili Indonesia dengan karyaku.”

Indah terkesiap, sedikit terkejut dengan ambisi besar Oniel. “Luar negeri, ya? Wah, jadi nanti aku harus naik pesawat kalau mau ketemu kamu?”

“Tenang, aku akan kirim tiketnya. First class, biar kamu bisa makan steak di atas awan,” jawab Oniel sambil tertawa kecil, membuat Indah ikut tertawa.

Namun, candaan itu akhirnya menjadi kenyataan. Suatu hari, Oniel mendapat tawaran untuk mengikuti pameran seni di Eropa. Itu adalah kesempatan besar, sesuatu yang tak mungkin ia tolak. Saat ia menyampaikan kabar itu, Indah berusaha tersenyum meskipun hatinya bergetar. “Aku ikut senang buat kamu, Oniel. Ini yang kamu impikan, kan?”

Oniel menatapnya sejenak, seperti ingin mengatakan sesuatu yang lebih dalam, namun akhirnya hanya mengangguk. “Iya, aku juga senang. Tapi aku akan merindukan ini… merindukan kita.”

Kalimat itu menggantung di udara. Mereka berjanji untuk tetap berhubungan, namun seiring berjalannya waktu, janji itu semakin sulit dipenuhi. Pesan-pesan mulai jarang dikirim, panggilan telepon semakin langka, dan perlahan Oniel terasa semakin jauh. Indah mencoba bertahan, mencoba memahami. Tapi setiap kali ia membuka galeri seni dan melihat karya Oniel terpampang di layar, hatinya mencubit pelan. Rindu semakin menumpuk.

Lulu dan Olla terus mencoba menghiburnya. “Kamu harus lebih sibuk! Biar nggak ada waktu buat mikirin yang jauh-jauh,” kata Lulu sambil menyeruput kopi. “Atau kalau nggak, ya… cari aja yang deket-deket sini, gitu. Banyak, kok, cowok di kota ini.”

Indah hanya menghela napas. “Bukan soal siapa yang deket atau jauh. Aku cuma… rindu dia, rindu kebersamaan kita.”

“Klise banget, Ndah. Tapi ya, namanya juga cinta, kadang klise memang bagian dari paketnya,” balas Olla sambil tertawa.

Hari-hari berlalu, hingga suatu hari Indah mendengar kabar bahwa Oniel pulang. Namun bukan dengan membawa kabar baik. Proyek pameran seni yang diimpikannya gagal, dan Oniel memilih untuk kembali ke Indonesia dengan perasaan yang hancur. Saat mereka bertemu kembali di bangku taman yang sama, Indah hampir tidak mengenal Oniel yang dulu. Wajahnya lelah, matanya kehilangan semangat.

“Aku gagal, Indah,” kata Oniel dengan suara serak, tanpa ada senyuman di wajahnya.

Indah menatapnya, hatinya mencelus. Namun ia tahu, di balik rasa kecewa itu, ia masih merindukan pria di hadapannya. “Oniel, yang gagal itu bukan kamu, cuma proyeknya. Kamu masih tetap Oniel yang aku kenal. Yang selalu berjuang.”

Sejenak, hening menyelimuti mereka berdua. Oniel tertawa kecil, meski pahit. “Kamu selalu tahu caranya membuatku merasa lebih baik.”

“Kamu tahu kan, kamu cuma butuh waktu. Dan kalau kamu butuh seseorang buat tertawa, aku dan Olla bisa bikin stand-up comedy gratis buat kamu,” goda Indah, mencoba meringankan suasana.

Oniel tersenyum lemah, tapi kali ini senyumnya lebih tulus. “Kamu selalu berhasil bikin semuanya terasa lebih mudah, ya?”

Dan di bawah langit senja yang kini berubah menjadi malam, Indah tak bisa menahan lagi perasaannya. “Aku merindukanmu, Oniel.”

Oniel menatapnya lama, mata mereka bertemu dalam keheningan yang penuh makna. “Aku juga, Indah. Aku merindukan kita. Lebih dari yang kamu tahu.”

Di momen itu, rindu yang selama ini terasa menyakitkan, perlahan berubah menjadi harapan. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan masih panjang, dan mungkin akan ada banyak rintangan di depan. Tapi untuk saat ini, mereka hanya ingin menikmati kebersamaan yang kembali hadir, meski hanya sebentar.

Dengan senyuman di wajahnya, Indah tahu bahwa kali ini, ia tak akan melepaskan Oniel begitu saja.

--End--

OnDah From A to ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang