Bertemu Cinta di Mata Oniel

172 16 0
                                    

Hujan turun perlahan sore itu, butirannya menari di udara sebelum akhirnya menghantam tanah dengan lembut. Aku duduk di tepi jendela kamarku, menatap butiran air yang mengalir di kaca. Biasanya, suasana hujan seperti ini membuatku merasa tenang, tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam pikiranku, sesuatu yang membuat hatiku gelisah. Bukan karena hujan, bukan karena angin yang bertiup dingin. Tapi karena seseorang—Oniel.

Aku dan Oniel sudah bersahabat sejak lama, dan dia selalu menjadi sosok yang berarti dalam hidupku. Kami melalui banyak hal bersama—tawa, tangis, kesulitan, dan kebahagiaan. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, ada perasaan yang mulai tumbuh di antara kami. Perasaan yang tak pernah terlintas di pikiranku sebelumnya. Setiap kali aku berada di dekatnya, jantungku berdebar lebih kencang, dan aku selalu menangkap diriku tersenyum ketika mengingatnya. Tapi aku tak pernah berani mengakui perasaan itu. Bagaimana kalau ini hanya sementara? Bagaimana kalau Oniel tak merasakan hal yang sama?

Aku menatap jam di dinding. Sudah hampir pukul empat sore. Aku dan Oniel berjanji untuk bertemu di kafe langganan kami. Kafe kecil di ujung jalan yang sering kami datangi saat ingin berbicara tentang banyak hal. Namun hari ini, pertemuan kami terasa berbeda bagiku. Ada kegugupan yang perlahan merayap di hatiku, sesuatu yang belum pernah aku rasakan setiap kali kami bertemu.

Langit masih mendung ketika aku memutuskan untuk pergi. Dengan mengenakan jaket tebal dan payung di tangan, aku berjalan menuju kafe. Hujan tak lagi deras, hanya rintik-rintik lembut yang menemani langkahku. Ketika aku tiba, aku melihat Oniel sudah duduk di tempat biasa kami, dekat jendela yang menghadap ke jalan.

Dia tampak tenang, seperti biasa. Rambutnya sedikit basah karena hujan, namun senyum lebar tetap menghiasi wajahnya ketika melihatku masuk. "Kamu basah, Ka," katanya sambil melambaikan tangan.

Aku tersenyum balik, meski dalam hati, rasa gugupku semakin kuat. "Cuma sedikit kena rintik-rintik," jawabku ringan sambil meletakkan payung di sudut meja. Aku duduk di hadapannya, memesan segelas teh hangat, dan mencoba untuk bersikap seperti biasa. Tapi Oniel, seperti selalu, bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda.

"Kamu kelihatan agak gelisah. Ada yang mau diceritain?" tanyanya sambil menyeruput kopi hitamnya.

Aku menggeleng, mencoba tersenyum. "Enggak, kok. Mungkin cuma lelah aja."

Oniel tak langsung membalas. Dia menatapku dengan tatapan yang dalam, seolah mencoba membaca pikiranku. Dan di sinilah aku, lagi-lagi terperangkap dalam sorot matanya. Mata yang selalu bisa membuatku merasa tenang, tapi kali ini, ada sesuatu yang lebih dalam di sana. Sesuatu yang membuatku bertanya-tanya, apakah dia merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan.

Obrolan kami mengalir seperti biasa—tentang pekerjaan, tentang rencana akhir pekan, tentang hal-hal kecil yang tak pernah penting tapi selalu terasa hangat ketika dibicarakan bersama. Namun, di tengah-tengah pembicaraan, Oniel tiba-tiba menghentikan kalimatnya dan menatapku lebih serius.

"Ka, aku mau bilang sesuatu," ucapnya perlahan.

Aku merasakan detak jantungku semakin cepat. Tatapannya kali ini bukan tatapan biasa. Ada keseriusan yang terpancar dari matanya, dan untuk pertama kalinya, aku merasa gugup di hadapannya. Aku mengangguk pelan, menunggu apa yang akan dia katakan.

"Selama ini, kita selalu bersama. Kamu tahu, dari dulu aku selalu nganggep kamu sahabat terbaik aku," dia memulai dengan nada lembut, namun jelas ada getar dalam suaranya. "Tapi akhir-akhir ini, aku mulai ngerasa kalau hubungan kita bukan cuma sahabat. Aku mulai lihat kamu dengan cara yang berbeda, Ka."

Hatiku terasa berhenti sejenak. Kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar seperti mimpi. Apa ini benar terjadi? Apakah Oniel akan mengatakan hal yang selama ini aku pendam dalam hati?

"Aku nggak tahu gimana bilangnya, tapi setiap kali aku ngelihat kamu sekarang, aku nggak cuma ngelihat kamu sebagai teman. Aku mulai lihat perasaan yang lebih dari itu," lanjutnya. Dia menatapku dengan tatapan penuh harap. "Ka, aku mulai sadar kalau aku suka sama kamu. Dan bukan cuma sebagai sahabat."

Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. Rasanya seperti dunia di sekitarku berhenti berputar. Hujan di luar semakin mereda, namun di dalam diriku, badai perasaan justru semakin kuat. Oniel, sahabat yang selama ini aku kenal dan sayangi, baru saja mengungkapkan perasaan yang tak pernah aku duga akan datang darinya. Dan kenyataannya, aku juga merasakan hal yang sama. Namun, keberanian untuk mengakuinya tak pernah ada.

"Aku nggak pengen ngerusak persahabatan kita, Ka," tambahnya dengan nada lebih pelan. "Aku cuma pengen jujur sama kamu, apa pun yang terjadi."

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk merespons. Perasaan yang selama ini aku sembunyikan terasa tak mungkin lagi disimpan. Aku harus jujur, sama seperti Oniel.

"Oniel," panggilku pelan. Mataku bertemu dengan matanya, dan di sana, aku melihat ketulusan yang membuat hatiku terasa hangat. "Aku juga merasa hal yang sama."

Oniel terlihat terkejut sejenak, sebelum akhirnya senyum lebar muncul di wajahnya. "Serius?" tanyanya, seolah ingin memastikan apa yang baru saja didengarnya.

Aku mengangguk, dan kali ini, aku membiarkan diriku tersenyum lebar. "Serius. Aku juga nggak tahu kapan tepatnya, tapi aku mulai lihat kamu bukan cuma sebagai sahabat. Aku juga suka sama kamu, Niel."

Ada jeda singkat di antara kami, seakan-akan waktu berhenti. Oniel menatapku dengan mata yang berbinar, dan untuk pertama kalinya, aku melihat cinta yang nyata di matanya. Bukan sekadar perhatian seorang sahabat, tapi perasaan yang jauh lebih dalam. Di luar, hujan mulai berhenti, tapi di dalam hatiku, cinta yang selama ini tersembunyi kini terbuka lebar.

Oniel tertawa pelan, nada suaranya penuh kebahagiaan. "Aku nggak nyangka, Ka," katanya sambil menggeleng tak percaya. "Ternyata perasaan kita sama."

Aku mengangguk, merasa lega dan bahagia dalam satu waktu. Semua kegelisahan yang tadi menghantuiku kini sirna. Dalam tatapan mata Oniel, aku menemukan jawaban yang selama ini aku cari. Cinta. Cinta yang tumbuh perlahan, tanpa pernah kami sadari, namun kini terasa begitu nyata.

Dan di sore itu, di kafe kecil yang akrab dengan kami, hujan tak hanya membawa ketenangan, tapi juga awal dari sebuah cerita cinta yang baru—cinta yang kami temukan di mata satu sama lain.


--End--

OnDah From A to ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang